Analisis Faktor Penyebab Krisis Perbankan di Indonesia 
Dari  pembahasan di atas menunjukkan bahwa deregulasi perbankan sejak Juni  1983 telah menimbulkan sejumlah resiko yang akhirnya membawa perbankan  Indonesia masuk dalam stadium krisis pada 1997-1998.  Dan  sesungguhnya, jika kita mendeteksi faktor penyebab munculnya risiko dan  krisis perbankan di Indonesia dengan menggunakan kerangka yang  dikembangkan oleh Polizatto (1990), tidak sulit untuk menemukannya.
Berdasarkan “The 11 Polizatto Points” –sebagaimana diulas di landasan teori-  maka dari 11 poin yang dikemukakan oleh Polizatto dalam rangka menciptakan prudential regulation bagi terwujudnya banking soundness, ternyata tidak seluruhnya terdapat dalam sistem perbankan Indonesia. Dan kalaupun telah dipenuhi, implementasi dan enforcement-nya masih jauh dari memadai.
Sumber malapetaka pertama bagi perbankan Indonesia adalah criteria for entry dan capital adequacy (Point 1 & 2) yang begitu mudah. Hanya  dengan modal sebesar Rp10 miliar, seseorang dapat mendirikan sebuah  bank devisa domestik dan dengan modal sebesar Rp50 miliar dapat  membentuk bank campuran (joint venture bank). Kebijakan ini  memang diarahkan untuk membuka pasar perbankan seluas-luasnya. Sehingga,  dengan kebijakan ini maka bermunculan bank-bank baru dan tentunya akan  banyak menyerap dana masyarakat.
Namun,  pembukaan pasar industri perbankan yang seluas-luasnya tanpa disertai  dukungan sumber daya manusia (SDM) perbankan yang memadai, maka yang  akan terjadi adalah perbankan tersebut didirikan dengan perbekalan yang  “ala kadarnya. Dan inilah yang terjadi, ketika sektor perbankan dibuka,  maka SDM perbankan tersedia bukan SDM perbankan yang memang betul-betul  memahami seluk beluk dunia perbankan, tetapi SDM yang berasal dari  “pindahan” dari pengusaha “kelontongan.”[12]
Untuk  mengurangi risiko dan meningkatkan pendapatannya, umumnya bank-bank  melakukan diversifikasi atas operasi bank. Pembatasan atas ekspansi  secara geografi dan diversifikasi produk (Point 3/Asset Diversification) justru sering meningkatkan risiko bank. Dari kacamata kepentingan kehati-hatian (prudential point), pembatasan seperti ini seharusnya dihilangkan. Namun, aturan tentang legal lending limits (ketentuan batas maksimum pemberian kredit/BMPK), batasan investasi pada sektor-sektor tertentu (Point 5/Permissible or Prohibited Activities), dan batasan-batasan exposure lainnya yang ditujukan untuk mencegah terjadinya konsentrasi risiko pada satu orang atau grup peminjam yang terkait (Point 4/Loans to Insiders), perlu dilakukan untuk tujuan kehati-hatian (prudential purposes).
Namun sayangnya, tidak seluruh Point 3, 4, dan 5 dari “the 11 Polizatto Point”  tersebut yang dijalankan. Terhadap point 3 misalnya, terdapat  pembatasan pasar bagi masing-masing bank. Misalnya, bagi bank-bank  berstatus devisa nasional, mereka dibatasi hanya boleh beroperasi di  kota-kota besar (ibukota propinsi), sementara bank-bank kecil seperti  bank yang dimiliki oleh pemerintah daerah dibatasi hanya boleh  beroperasi di regionalnya dimana bank tersebut berdiri. Sedangkan bank  perkreditan rakyat (BPR) hanya boleh beroperasi di tingkat kecamatan.
Pembatasan  regional operasi bank memang dipandang penting untuk menjaga agar tidak  ada persaingan yang tidak sehat antara bank besar dan bank kecil.  Namun, pembatasan ini sebenarnya cenderung membatasi bank-bank kecil  (atau bank-bank daerah) yang ingin meningkatkan economic of scale-nya,  karena pasarnya dibatasi pada regionalnya sendiri, yang sesungguhnya,  pasarnya sangat kecil. Berbeda dengan bank-bank swasta nasional  (bank-bank besar), meskipun operasinya dibatasi, namun karena daerah  operasinya merupakan daerah “gemuk”, maka hal itu tidak menimbulkan  masalah berarti dalam hal pasar. Bagi bank-bank yang beroperasi di kota  besar, kini tinggal bagaimana memanfaatkan pasar yang sangat potensial  tersebut dengan berbagai strategi promosi yang memikat.
Meski  begitu, karena pendirian bank-bank swasta devisa nasional begitu mudah,  maka tetap saja persaingan di kalangan mereka di kota-kota besar, tetap  sengit. Dari kacamata positif, persaingan antarbank memang akan  meningkatkan efisiensi, serta perbaikan pelayanan yang menguntungkan  masyarakat. Kecenderungan untuk memberi kompensasi bunga yang tinggi  pada penabung misalnya, adalah salah satu keuntungan yang tidak terjadi  di masa-masa sebelum deregulasi. Keluwesan birokrasi perbankan serta  perbaikan pelayanan lainnya terhadap nasabah merupakan hal-hal yang  pantas disyukuri sebagai hikmah dari reformasi perbankan.
Namun,  dari perspektif lain, persaingan juga bisa menjurus kepada hal-hal yang  kurang sehat, yang justru bisa menjadi bumerang. Sudah lama  diantisipasi, bahwa para pelaku perbankan kita dalam bisnisnya terkadang  tidak rasional. Penawaran iming-iming berbagai hadiah kepada calon  penabung misalnya, kelak akan berpotensi sebagai faktor yang memberatkan  biaya operasional.
Penegakan Regulasi dan Kualitas Pengawasan 
Masalah lingkup, frekuensi, dan isi program audit (scope, frequency, and content of the audit program)  atau lingkup pengawasan (Point 8), sesungguhnya telah diatur dengan  baik. Undang-undang (UU) Perbankan No. 7/1992 yang telah direvisi dengan  UU No. 10/1998, Bab V Pasal 29 hingga Pasal 37 menyebutkan: (1)  pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Bank Indonesia (Pasal 29); (2)  Bank Indonesia melakukan pemeriksaan secara berkala maupun setiap waktu  (Pasal 31); dan Bank Indonesia dapat menugaskan akuntan publik atas nama  BI untuk melakukan pemeriksaan (Pasal  31A). Bank  juga diwajibkan menyampaikan pada Bank Indonesia laporan keuangan  berupa neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya,  serta laporan berkala lainnya (Pasal 34). Bank juga wajib mengumumkan  neraca dan perhitungan laba/rugi (Pasal 35). BI dapat mencabut izin  usaha, jika menurut penilaian BI, bank tersebut membahayakan sistem  perbankan nasional (Pasal 37).
Mengacu  pada UU ini, sebenarnya prosedur pengawasan perbankan kita sudah cukup  baik. Tidak ada indikasi yang mencolok bahwa sistem pengawasan perbankan  kita dapat ditembus. Hanya saja, memang akan selalu timbul pertanyaan:  apakah hal itu cukup untuk menjamin bahwa kualitas pengawasan perbankan  kita telah baik? Ternyata tidak. Berdasarkan studi yang dilakukan  Brownbridge dan Kirkpatrick (1999), serta Bosworth and Collins (2000)  menunjukkan bahwa kualitas pengawasan perbankan di Indonesia masih  lemah.
http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php/20080508101/jurnal-keuangan-publik/analisis-atas-deregulasi-krisis-dan-restrukturisasi-perbankan-di-indonesia/d.-analisis-faktor-penyebab-krisis-perbankan-di-indonesia.html 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar