Kamis, 05 Januari 2012

Perbankan, resiko perbakan dan regulasi perbankan

Analisis Faktor Penyebab Krisis Perbankan di Indonesia
Dari pembahasan di atas menunjukkan bahwa deregulasi perbankan sejak Juni 1983 telah menimbulkan sejumlah resiko yang akhirnya membawa perbankan Indonesia masuk dalam stadium krisis pada 1997-1998.  Dan sesungguhnya, jika kita mendeteksi faktor penyebab munculnya risiko dan krisis perbankan di Indonesia dengan menggunakan kerangka yang dikembangkan oleh Polizatto (1990), tidak sulit untuk menemukannya.
Berdasarkan The 11 Polizatto Points” –sebagaimana diulas di landasan teori-  maka dari 11 poin yang dikemukakan oleh Polizatto dalam rangka menciptakan prudential regulation bagi terwujudnya banking soundness, ternyata tidak seluruhnya terdapat dalam sistem perbankan Indonesia. Dan kalaupun telah dipenuhi, implementasi dan enforcement-nya masih jauh dari memadai.
Sumber malapetaka pertama bagi perbankan Indonesia adalah criteria for entry dan capital adequacy (Point 1 & 2) yang begitu mudah. Hanya dengan modal sebesar Rp10 miliar, seseorang dapat mendirikan sebuah bank devisa domestik dan dengan modal sebesar Rp50 miliar dapat membentuk bank campuran (joint venture bank). Kebijakan ini memang diarahkan untuk membuka pasar perbankan seluas-luasnya. Sehingga, dengan kebijakan ini maka bermunculan bank-bank baru dan tentunya akan banyak menyerap dana masyarakat.
Namun, pembukaan pasar industri perbankan yang seluas-luasnya tanpa disertai dukungan sumber daya manusia (SDM) perbankan yang memadai, maka yang akan terjadi adalah perbankan tersebut didirikan dengan perbekalan yang “ala kadarnya. Dan inilah yang terjadi, ketika sektor perbankan dibuka, maka SDM perbankan tersedia bukan SDM perbankan yang memang betul-betul memahami seluk beluk dunia perbankan, tetapi SDM yang berasal dari “pindahan” dari pengusaha “kelontongan.”[12]
Untuk mengurangi risiko dan meningkatkan pendapatannya, umumnya bank-bank melakukan diversifikasi atas operasi bank. Pembatasan atas ekspansi secara geografi dan diversifikasi produk (Point 3/Asset Diversification) justru sering meningkatkan risiko bank. Dari kacamata kepentingan kehati-hatian (prudential point), pembatasan seperti ini seharusnya dihilangkan. Namun, aturan tentang legal lending limits (ketentuan batas maksimum pemberian kredit/BMPK), batasan investasi pada sektor-sektor tertentu (Point 5/Permissible or Prohibited Activities), dan batasan-batasan exposure lainnya yang ditujukan untuk mencegah terjadinya konsentrasi risiko pada satu orang atau grup peminjam yang terkait (Point 4/Loans to Insiders), perlu dilakukan untuk tujuan kehati-hatian (prudential purposes).
Namun sayangnya, tidak seluruh Point 3, 4, dan 5 dari “the 11 Polizatto Point” tersebut yang dijalankan. Terhadap point 3 misalnya, terdapat pembatasan pasar bagi masing-masing bank. Misalnya, bagi bank-bank berstatus devisa nasional, mereka dibatasi hanya boleh beroperasi di kota-kota besar (ibukota propinsi), sementara bank-bank kecil seperti bank yang dimiliki oleh pemerintah daerah dibatasi hanya boleh beroperasi di regionalnya dimana bank tersebut berdiri. Sedangkan bank perkreditan rakyat (BPR) hanya boleh beroperasi di tingkat kecamatan.
Pembatasan regional operasi bank memang dipandang penting untuk menjaga agar tidak ada persaingan yang tidak sehat antara bank besar dan bank kecil. Namun, pembatasan ini sebenarnya cenderung membatasi bank-bank kecil (atau bank-bank daerah) yang ingin meningkatkan economic of scale-nya, karena pasarnya dibatasi pada regionalnya sendiri, yang sesungguhnya, pasarnya sangat kecil. Berbeda dengan bank-bank swasta nasional (bank-bank besar), meskipun operasinya dibatasi, namun karena daerah operasinya merupakan daerah “gemuk”, maka hal itu tidak menimbulkan masalah berarti dalam hal pasar. Bagi bank-bank yang beroperasi di kota besar, kini tinggal bagaimana memanfaatkan pasar yang sangat potensial tersebut dengan berbagai strategi promosi yang memikat.
Meski begitu, karena pendirian bank-bank swasta devisa nasional begitu mudah, maka tetap saja persaingan di kalangan mereka di kota-kota besar, tetap sengit. Dari kacamata positif, persaingan antarbank memang akan meningkatkan efisiensi, serta perbaikan pelayanan yang menguntungkan masyarakat. Kecenderungan untuk memberi kompensasi bunga yang tinggi pada penabung misalnya, adalah salah satu keuntungan yang tidak terjadi di masa-masa sebelum deregulasi. Keluwesan birokrasi perbankan serta perbaikan pelayanan lainnya terhadap nasabah merupakan hal-hal yang pantas disyukuri sebagai hikmah dari reformasi perbankan.
Namun, dari perspektif lain, persaingan juga bisa menjurus kepada hal-hal yang kurang sehat, yang justru bisa menjadi bumerang. Sudah lama diantisipasi, bahwa para pelaku perbankan kita dalam bisnisnya terkadang tidak rasional. Penawaran iming-iming berbagai hadiah kepada calon penabung misalnya, kelak akan berpotensi sebagai faktor yang memberatkan biaya operasional.
  
Penegakan Regulasi dan Kualitas Pengawasan

Masalah lingkup, frekuensi, dan isi program audit (scope, frequency, and content of the audit program) atau lingkup pengawasan (Point 8), sesungguhnya telah diatur dengan baik. Undang-undang (UU) Perbankan No. 7/1992 yang telah direvisi dengan UU No. 10/1998, Bab V Pasal 29 hingga Pasal 37 menyebutkan: (1) pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Bank Indonesia (Pasal 29); (2) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan secara berkala maupun setiap waktu (Pasal 31); dan Bank Indonesia dapat menugaskan akuntan publik atas nama BI untuk melakukan pemeriksaan (Pasal  31A). Bank juga diwajibkan menyampaikan pada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya, serta laporan berkala lainnya (Pasal 34). Bank juga wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba/rugi (Pasal 35). BI dapat mencabut izin usaha, jika menurut penilaian BI, bank tersebut membahayakan sistem perbankan nasional (Pasal 37).
Mengacu pada UU ini, sebenarnya prosedur pengawasan perbankan kita sudah cukup baik. Tidak ada indikasi yang mencolok bahwa sistem pengawasan perbankan kita dapat ditembus. Hanya saja, memang akan selalu timbul pertanyaan: apakah hal itu cukup untuk menjamin bahwa kualitas pengawasan perbankan kita telah baik? Ternyata tidak. Berdasarkan studi yang dilakukan Brownbridge dan Kirkpatrick (1999), serta Bosworth and Collins (2000) menunjukkan bahwa kualitas pengawasan perbankan di Indonesia masih lemah.

http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php/20080508101/jurnal-keuangan-publik/analisis-atas-deregulasi-krisis-dan-restrukturisasi-perbankan-di-indonesia/d.-analisis-faktor-penyebab-krisis-perbankan-di-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar