Kamis, 05 Januari 2012

Manajemen Resiko Bank

Hubungan Bank dan Risiko
· Bank adalah sebuah institusi yang memiliki surat izin bank, menerima tabungan dan deposito, memberikan pinjaman, dan menerima serta menerbitkan check.
· Risiko didefinisikan sebagai peluang terjadi bad outcome (hasil yang buruk), dan besarnya peluang dapat diestimasikan.
· Risk event (kejadian risiko) adalah terjadinya suatu peristiwa yang menciptakan potensi terjadinya kerugian (hasil buruk).
· Risk loss (risiko kerugian) adalah kerugian yang terjadi sebagai dampak langsung atau tidak langsung dari kejadian risiko. Kerugian tersebut dapat bersifat finansial atau non-finansial.

Bank Bersifat Khusus
Bank disebut bersifat “khusus” karena permasalahan di perbankan bisa mengakibatkan dampak yang serius bagi perekonomian. Bank sebagai perantara (intermediary), artinya, bank adalah sebuah lembaga untuk menyalurkan dana deposito dari nasabah kepada perusahaan-perusahaan (yang berupa suatu pinjaman). Apabila pinjaman yang diberikan bank ternyata tidak dapat dikembalikan oleh perusahaan, hal in akan menimbulkan insolvabilitas (insolvency) yang akan merusak modal pemegang saham (shareholder equity) dan dana dari nasabah. Hal itu disebabkan karena bank memiliki rasio utang terhadap modal (gearing) yang tinggi (highly geared / highly leveraged).
Tidak seperti perusahaan keuangan, maupun industri lain, regulasi bagi industri perbankan tidak hanya mencakup produk dan jasa yang ditawarkan, tetapi juga mencakup lembaga bank itu sendiri. Hal ini karena kegagalan bank akan memberikan dampak jangka panjang yang mendalam terhadap perekonomian.
Berkaitan dengan hal tersebut, otoritas pengawas perbankan (supervisor) menetapkan:
a. Struktur Modal
Struktur modal adalah cara bank untuk mendanai bisnisnya, biasanya melalui kombinasi pemberian saham, obligasi, dan penerimaan pinjaman.
b. Persyaratan Modal Minimum
Sebuah bank dikatakan memiliki modal yang cukup jika bank tersebut memiliki sumber daya finansial yang memadai untuk mengantisipasi potensi kerugianna.
c. Tingkat Likuiditas Minimum
Bank dikatakan memiliki likuiditas yang cukup jika bank tersebut memiliki sumber daya finansial yang memadai untuk mendanai aktivanya (asetnya) dan memenuhi kewajibannya saat jatuh tempo.
d. Jenis dan Struktur Pemberian Kredit

Bank, Risiko Sistematik, dan Perekonomian
Risiko sistemik adalah risiko di mana kegagalan sebuah bank tidak hanya berdampak langsung terhadap karyawan, nasabah, dan pemegang saham, tetapi bahkan dapat menghancurkan perekonomian. Hal ini lebih dikenal dengan sebutan “run on a bank” atau “bank rush”, yaitu penarikan dana besar-besaran dari bank.
“Run on a bank” terjadi ketika bank tidak mampu memenuhi kewajibannya, atau dengan kata lain bank tidak memiliki dana kas yang cukup untuk membayar kembali nasabah yang ingin menarik dananya (ada masalah solvabilitas). Solvabilitas dari suatu bank tidak hanya menjadi perhatian pemegang saham, nasabah, maupun karyawan, tetapi juga pihak-pihak yang bertanggung jawab mengatur ekonomi.
Sebelum tahun 1930-an, “run on banks” dan masalah solvabilitas relatif sering terjadi. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk mengendalikan bank melalui regulasi, dengan memastikan bahwa bank memiliki modal dan memiliki likuiditas yang mencukupi.
Bank sentral sebagai supervisor harus memastikan bahwa bank dapat:
· memenuhi sejumlah permintaan dari deposan yang ingin dananya dikembalikan, tanpa perlu mencairkan pinjamannya (menjual asetnya), dan
· mempertahankan tingkat kerugian yang masuk akal sebagai akibat dari lemahnya sistem pemberian pinjaman atas siklus ekonomi yang turun. Misalnya, dapat bertahan saat resesi.
Sebelumnya tingkat kecukupan modal dan likuiditas tidak diterapkan secara tegas, hanya dihubungkan dengan persentase dari kredit (pinjaman). Namun, ada ‘missing link’(suatu keterkaitan yang hilang dalam menghitung tingkat modal yang cukup bagi bank, yaitu besarnya risiko yang diambil bank. Semakin tinggi risiko yang diambil semakin besar potensi kerugian yang dihadapi. Dengan demikian, semakin besar modal yang harus disediakan. Bank mengambil risiko yang lebih besar, karena mengharapkan keuntungan (margin) yang lebih besar (high risk high return / reward).
Ketidakmampuan bank memenuhi kewajiban dan membayar kembali nasabah yang ingin menarik dananya dapat terjadi karena:
· Risiko kredit yang buruk
· Persepsi dari sebagian nasabahnya (bersifat tidak nyata)
· Gejolak ekonomi (economic shock), sehingga debitur macet akan meningkat secara signifikan
Bank masih akan terkena risiko perekonomian negara, walaupun sudah melakukan diversifikasi portofolio kreditnya.
Pada dasarnya, perekonomian suatu negara dipengaruhi oleh:
· External shock (guncangan eksternal), misalnya bencana alam atau peristiwa karena perbuatan manusia; dan
· Economic mismanagement (pengelolaan ekonomi yang buruk).
Memburuknya perekoniman suatu negara berdampak pada meningkatnya jumlah kredit macet. Hal ini disebabkan oleh kenaikan suku bunga, penurunan kinerja perusahaan, dan kenaikan tingkat pengangguran. Beberapa hal yang dapat dilakukan bank untk mengurangi dampak tersebut adalah:
· Mematuhi peraturan (termasuk Basel II);
· Membuat skenario atas economic shocks;
· Memiliki tingkat modal yang cukup untuk menjaga dari dampak economic shocks;
· Memperkirakan tingkat kredit macet dan memastikan bahwa tersedia modal yang mencukupi.

Modal
Modal adalah investasi dari pemegang saham bank, dan dapat diukur dari nilai yang tercatat di neraca. Modal yang mencukupi merupakan sumber daya yang penting bagi bank untuk memastikan solvency. Modal bank adalah satu-satunya sumber daya yang dapat menyerap kerugian karena tidak harus dibayar kembali.
Bank diharuskan memiliki modal yang mencukupi untuk menghadapi tingkat risiko yang diambil. Semakin tinggi risiko, semakin tinggi pula modal yang dipersyaratkan. Tingkat kecukupan modal berdasarkan tingkat risiko disebut risk-based capital. Perkembangan perbankan internaisonal pada tahun 1970-an dan 1980-an yang pesat membuat persaingan dan risiko menjadi semakin meningkat, berarti;
· Risk based capital menjadi semakin berarti
· Supervisor lebih yakin bahwa bank internasional harus memiliki cukup modal untuk menghadapi risiko (capital adequancy).
Gearing
Gearing adalah rasio dari jumlah utang (company debt) dibandingkan dengan modal (capital) yang dipunyai. Bank yang memiliki utang yang jauh lebih besar daripada modalnya, disebut “highly geared” (‘highly leveraged’).

Insolvency (Insolvabilitas)
Insolvabilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan perusahaan membayar klaim (apa pun jenisnya) yang telah jatuh tempo. Dampak krisis solvabilitas sebuah bank pada ekonomi biasanya kecil. Akan tetapi, jika krisis solvabilitas terjadi pada seluruh sektor perbankan maka seluruh perekonomian akan terkena dampaknya.

Lender of Last Resort
Bank sentral sebagai “Lender of last Resort” harus siap memberikan bantuan dana kepada bank umum untuk menjaga stabilitas sistem finansial dan untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi yang diakibatkan oleh krisis solvabilitas maupun krisis likuiditas.

Pengaruh Liberalisasi Keuangan
Liberalisasi yang terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an, merupakan alasan utama kenapa kebijakan moneter yang sukses tidak menghasilkan stabilitas keuangan.
Turunnya peran pemerintah dalam mempengaruhi perekonomian disebabkan oleh:
· dihilangkannya penghalang kompetisi antar lembaga keuangan (terjadinya persaingan bebas), termasuk liberalisasi izin pendirian bank yang menjadi bagian utama regulasi sampai tahun 1970-an;
· dihilangkannya pembatasan penetapan harga atas transaksi keuangan, seperti misalnya suku bunga maksimum atas pinjaman dan deposito;
· dihilangkannya pembatasan pergerakan modal internasional, yang mengiringi pengenalan atas pertukaran mata uang.
Liberalisasi di pasar keuangan meningkatkan situasi persaingan di perbankan, yaitu dengan cara:
· Menurunkan kemampuan bank untuk memiliki margin keuntungan yang tinggi (produk-produk harus memiliki harga yang kompetitif).
· Meningkatkan masuknya pemain baru sehingga meningkatkan kompetisi.
Kesulitan memperoleh keuntungan dalam kondisi seperti tersebut, memaksa bank untuk mengambil risiko yang leibh tinggi untuk menjaga tingkat pendapatannya.

Inovasi Produk Finansial
Liberalisasi sektor finansial melahirkan suatu periode di mana inovasi tercipta dengan cepat, terutama pertumbuhan produk keuangan seperti futures, swaps, dan options (produk derivatif) dan sekuritisasi aset. Melalui produk-produk tersebut, bank dapat melakukan transfer risiko antarsesama bank kepada investor dari pasar yang lain.

Perkembangan Internasional
Kontrol atas persiangan antarnegara juga mengalami liberalisasi sebagai akibat dari perkembangan perdagangan bebas. Namun mungkin yang lebih signifikan, itu semua sebagai akibat dari meningkatnya kekuatan perekonomian dari politik dari Uni Eropa (European Union). Liberalisasi tersebut memperkuat keterkaitan finansial antarinstitusi, antarpasar, dan antar negara.

Stabilitas Keuangan
Stabilitas keuangan adalah suatu situasi di mana kemampuan untuk memobilisasi simpanan (saving) secara efisien, menyediakan likuiditas, dan mengalokasikan investasi dari institusi keuangan dan pelaku pasar yang lain terpelihara dengan baik. Stabilitas keuangan konsisten dengan kegagalan sebuah atau beberapa institusi keuangan yang terjadi secara periodik (artinya, adanya kegagalan adalah suatu hal yang biasa terjadi, dan stabilitas keuangan tetap terjaga). Kegagalan lembaga keuangan menjadi masalah besar, jika bisa menggoncangkan dan berpotensi menghancurkan stabilitas keuangan.

Stabilitas Moneter
Stabilitas moneter adalah stabilitas atas nilai uang (yaitu, terjadinya inflasi yang rendah dan stabil). Stabilitas keuangan tidak sama dengan stabilitas moneter. Walaupun dapat terjadi bersamaan, tetapi kedua stabilitas ini tidak selalu terjadi bersamaan, misalnya:
· Pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20, inflasi rendah (stabilitas moneter), tetapi tak terjadi stabilitas keuangan.
· Pada akhir Perang Dunia I sapai 1980-an, inflasi tinggi dan tak stabil, tetapi stabilitas keuangan tetap terjaga.
· Pada tahun 1980-an sampai saat ini. Inflasi terkontrol (terjadi stabilitas moneter), tetapi tidak meningkatkan stabilitas keuangan.

PENDEKATAN BARU DALAM PEMBUATAN REGULASI

Perkembangan pasar keuangan dan liberalisasi kontrol antarnegara memaksa supervisor, terutama bank sentral, untuk memikirkan kembali bahwa meskipun nilai safety net yang disediakan oleh bank sentral memalui fungsinya sebagai “lender of last resort” tumbuh semakin besar, namun fungsinya sebagai regulator keuangan mulai melemah. Sebelum periode liberalisasi keuangan pada tahun 1970-an dan 1980-an, regulasi keuangan fokus pada:
· Pemberian wewenang, hak, dan kewajiban kepada institusi keuangan (otorisasi institusi keuangan);
· Pendefinisian secara ketat bidang usaha yang diizinkan untuk setiap jenis institusi keuangan; dan
· Definisi dari rasio finansial dan persyaratan untuk menyimpan kas dalam jumlah tertentu di bank sentral, atau memiliki aset (surat berharga) sejumlah tertentu yang diterbitkan pemerintah (surat utang negara).
Supervisor yang prudent mulai melihat pendekatan baru untuk regulasi, sebagai berikut:
1. Menjadikan risk-return menjadi ukuran dari kinerja. Jika supervisor mampu membuat peraturan yang sejalan dengan pasar maka peraturan tersebut akan lebih efektif dan lebih relevan terhadap institusi yang diatur.
2. Meningkatnya globalisasi pada pasar modal mendorong kebutuhan norma kehati-hatian yang dapat diterima secara internasional dan dapat diimplementasikan secara konsisten.
3. Regulasi hanya sebagian dari solusi. Risiko dari internasional finansial, secara internasional, sangat bergantung pada isu tentang adanya:
Standar minimum hukum atas kontrak dan kepailitan,
Standar audit dan akuntansi,
Persyaratan disclosure.

DAMPAK POTENSIAL DARI KEGAGALAN PENGELOLAAN RISIKO
Risk event akan berdampak pada bank (berupa kerugian finansial), stakholder bank tersebut (pemegang sham, karyawan, nasabah) dan perekonomian.

Dampak pada Pemegang Saham
Kegagalan dalam mengelolaa risiko selain merugikan bank juga berdampak langsung pada para pemegang saham, dalam bentuk antara antara lain:
· hilangnya seluruh investasi mereka – bangkrutnya perusahaan;
· penurunan nilai investasi – harga saham yang turun karena reputasi yang buruk atau penurunan laba,
· hilangnya dividen sebagai akibat dari penurunan laba perusahaan,
· pemegang saham bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada perusahaan.

Dampak pada Pegawai
Baik pegawai yang terlibat maupun yang tidak terlibat risk event tetap akan terkena dampaknya, seperti:
· Tindakan indisipliner karena kesengajaan atau kealpaan.
· Kehilangan pendapatan, misalnya penurunan bonus ata penundaan peningkatan upah, karena dampak pada pendapatan perusahaan.
· Kehilangan pekerjaan.

Dampak pada Nasabah
Dampak terhadap nasabah memang tidak langsung dan tidak terlihat jelas namun tetap dirasakan, seperti:
· Penuruan kualitas layanan konsumen,
· Penurunan ketersediaan produk,
· Krisis likuiditas
· Perubahan peraturan.

Risiko Operasional dan Pelayanan Nasabah
Jenis risiko yang berdampak pada nasabah sehari-hari adalah risiko operasional. Suatu operasional event akan mempengaruhi secara langsung nasabah melalui kesalahan atau kelemahan kualitas pelayanan, gangguan pelayanan, ketidakamanan yang bersifat persepsi maupun kenyataan, dan tidak adanya pelayanan yang memadai.
Gangguan layanan kepada nasabah berdampak pada reputasi bank, yang akhirnya berdampak pada profitabilitas bank tersebut, karena nasabah pindah ke bank lain. Dampak pada nasabah dapat berakibat terjadinya kerugian finansial lainnya terhadap bank, yaitu ganti rugi pembayaran kepada nasabah sebagai kompensasi, ongkos litigasi, dan denda.

Dampak Ekonomi dari Suatu Kejadian Risiko

Procyclicality
Bank yang “over lent” (terlalu banyak menyalurkan kredit) pada saat boom (ekonomi tumbuh pesat), akan “under lent” (kurang mampu menyalurkan kredit) pada saat resesi. Dampak dari resesi akan mengurangi permodalan, karena bank terpaska melakukan kredit macet. Modal yang rendah mengurangi kemampuan bank untuk memberikan pinjaman. Hal ini dapat jelas terlihat pada fenomena “asset bubles” (misalnya properti dan pasar saham di seluruh dunia). Basel II telah dikritik atas meningkatnya “procyclicality” pada penyaluran kredit bank. Basel mengaitkan credit grading models (peringkat) dengan persyaratan permodalan bank, sehingga memburuknya peringkat pada kredit akan berdampak pada peningkatan modal (regulatory capital).

Likuiditas dan Risiko Pasar
Perdagangan aset di pasar meningkat dan market risk event terus membesar, sehingga timbul masalah baru. Model matematis untuk mengidentifikasi dan memahami risiko serta pricing belumlah sempurna, belum menjadi indikator utama, dan belum dapat diandalkan untk memonitor dan mengukur risiko pasar.
Krisis likuiditas jarang terjadi pada retail banking, tetapi sering terjadi pada wholesale banks. Wholesale banks tidak menarikdana masyarakat (nasabah perseorangan) melalui tabungan dan deposito, tetapi menggantungkan pendanaannya dengan menjaminkan aset (misalnya obligasi pemerintah dan obligasi korporasi). Aset tersebut dapat menjadi tidak likuid, karena investor tidak mau membeli aset tersebut, sehingga nilai aset tersebut turun secara drastis.
Tidak likudnya aset dapat mengakibatkan krisis likuiditas (liquidity crisis) tak terhindarkan. Krisis likuditas yang terjadi pada wholesale markets dapat ditekan dampaknya dengan beberapa cara, antara lain dengan meningkatkan kewaspadaan, reaksi yang cepat dari bank sentral, dan pengawasan oleh manajemen bank.

Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX)
Regulasi ini merupakan akibat atas terjadinya skandal akuntansi seperti yang terjadi pada Enron dan WorldCom. SOX menetapkan persyaratan tentang akuntabilitas korporasi. Penerbitan regulasi baru tersebut secara tidak langsung memberikan dampak kepada nasabah bank, baik melalui biaya implementasi maupun perubahan persepsi mengenai nilai-nilai yang ada.

International Accounting Standards (IAS)
Pengenalan ketentuan baru dalam bidang akuntansi biasanya tidak dianggap[ seperti sebuah kejadian risiko. Pengenalan IAS dianggap sebagai kejadian risiko, karena akan memberikan persepsi baru terhadap tingkat profitabilitas bank pada masa mendatang. Peraturan baru tersebut dapat berdampak negatif terhadap perusahaan maka perlu dikelola secara cermat dan perlu diterangkan kepada stakeholders.
IAS yang diperkenalkan secara luas pada tahun 2005-2006 akan mempengaruhi cara bank dalam mencatat hedging atas risiko suku bunga dalam banking book (cara mencatat berdasarkan IAS berbeda dengan Basel II), dan pengungkapan (disclosure) laporan keuangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar