Kamis, 05 Januari 2012

Mengelola Resiko Operasional

Rabu, 08 Juni 2011 16.48 WIB
(Vibizmanagement - Quality) - Apa akibatnya apabila kita gagal memahami dan mengendalikan  risiko operasional, seperti yang terlihat pada transaksi dan aktivitas bank akhir-akhir ini. Yang akan dihadapi adalah timbulnya peningkatan  resiko-resiko yang lain  secara tajam (drastis) dan diakhiri dengan terjadinya menurunnya performance / profit suatu organisasi.

Dewan Direksi dan Manajemen Senior bertanggung jawab menciptakan budaya organisasi yang menempatkan prioritas tinggi pada pengendalian operasional yang efektif dan kepatuhan pada pengendalian  operasional yang sehat. Manajemen risiko operasional sangat efektif jika budaya bank mendorong standar tingkah laku etis yang tinggi di semua tingkatan bank. Dewan dan Manajemen senior harus mempromosikan budaya organisasi yang membangun melalui tindakan dan kata-kata harapan integritas untuk semua pegawai dalam melakukan bisnis bank.

Prinsip-prinsip yang harus dijalankan supaya suatu organisasi dapat berjalan sesuai dengan prosedur operasional yang berlaku dan meminimasi resiko operasional dan resiko-resiko yang lain adalah seperti yang dijelaskan sbb:

Prinsip 1: Board of director, sebagai pimpinan tertinggi organisasi  harus menyadari  aspek utama risiko operasional bank yang harus dikelola, dan harus menyetujui dan mereview secara periodik kerangka manajemen risiko operasional bank. Kerangka harus memberi definisi risiko operasional menyeluruh pada perusahaan dan menentukan standar untuk mengidentifikasi, menilai, memonitor, dan mengendalikan (control/mitigate) risiko operasional. Di sini dewan harus  harus menyetujui implementasi kerangka kerja keseluruhan yang secara jelas mengelola risiko operasional sebagai suatu risiko tersendiri untuk kesehatan dan kekuatan bank. Dewan harus menyediakan tuntunan yang jelas bagi manajer senior dan arahan yang menyangkut prinsip-prinsip yang mendasari kerangka kerja tersebut dan menyetujui kebijakan-kebijakan yang berhubungan yang dikembangkan oleh manajer senior.

Kerangka kerja harus mencakup selera dan toleransi risiko operasional buat bank, seperti yang dinyatakan dalam kebijakan mengenai manajemen risiko dan prioritas bank terhadap aktivitas-aktivitas manajemen risiko operasional, termasuk tingkatan, dan tindakan dimana risiko operasional dialihkan kepihak lain diluar bank. Harus juga termasuk kebijakan yang secara garis besar pendekatan bank untuk melakukan identifikasi, menilai, monitor dan kontrol/mitigasi risiko. Tingkatan kesulitan dan kecanggihan dari kerangka kerja manajemen risiko operasional bank harus selaras dengan profil risiko bank. Karena aspek yang penting dalam mengelola risiko operasional berhubungan dengan kekuatan pengendalian intern, oleh karenanya sangat penting bagi Dewan menetapkan kejelasan lini tanggung jawab manajemen, akuntabilitas, dan pelaporan. Harus ada pemisahan tanggung jawab dan lini pelaporan antara fungsi kontrol risiko operasional, lini bisnis dan fungsi pendukung untuk menghindari benturan kepentingan. Kerangka kerja harus juga menyatakan proses kunci yang dibutuhkan perusahaan yang harus ada untuk mengelola risiko operasional.

Prinsip 2: Board of directors, sebagai pimpinan tertinggi organisasi  harus memastikan bahwa ada audit reguler terhadap kerangka manajemen risiko operasional yang dilakukan oleh tim internal yang independen dan kompeten (yaitu independen dari tim risiko operasional – biasanya fungsi internal  audit). Bank harus memiliki cakupan internal audit yang memadai untuk verifikasi kebijakan dan prosedur operasi telah diimplementasikan secara efektif. Dewan (baik langsung atau tidak langsung melalui komite auditnya) harus memastikan bahwa cakupan dan frekwensi program audit telah sesuai dengan eksposur risiko. Audit harus secara berkala memvalidasi kerangka kerja manajemen risiko operasional perusahaan telah diimplementasikan secara eketif di seluruh bagian dalam perusahaan.

Walaupun fungsi audit terlibat dalam pengawasan kerangka kerja manajemen risiko operasional, Dewan harus memastikan independensi audit tetap terjaga. Independensi ini mungkin akan ternodai jika fungsi audit terlibat langsung dalam proses manajemen risiko operasional. Fungsi audit mungkin akan menyediakan masukan yang bernilai untuk mereka yang bertanggung jawab pada manajemen risiko operasional, tetapi tidak boleh memiliki tanggung jawab manajemen risiko operasional secara langsung. Dalam praktiknya, Komite menyadari fungsi audit pada beberapa bank (khususnya bank yang lebih kecil) mungkin akan memiliki tanggung jawab awal untuk mengembangkan program manajemen risiko operasional. Jika hal itu terjadi, bank harus menyadari bahwa tanggung jawab sehari-hari dalam mengelola risiko operasional akan dialihkan kepihak lain dalam waktu yang tepat.

Prinsip 3: Manajemen senior harus bertanggung jawab untuk implementasi kerangka manajemen risiko operasional yang disetujui oleh board of director. Manajemen senior harus bertanggung jawab untuk pengembangan kebijakan, proses dan prosedur untuk mengelola risiko operasional pada bank. Manajemen harus menerjemahkan kerangka kerja manajemen risiko operasional yang dikembangkan oleh Dewan Direksi dalam kebijakan, proses dan prosedur yang spesifik yang dapat diimplementasikan dan diverifikasi dalam unit bisnis yang berbeda. Sementara level manajemen masing-masing bertanggung jawab untuk kesesuaian dan keefektifan kebijakan, proses, prosedur dan kontrol dalam cakupannya, senior manajemen harus secara jelas memberikan otoritas, tanggung jawab dan hubungan pelaporan untuk memajukan dan memelihara akuntabilitas, dan memastikan bahwa sumber daya yang diperlukan telah tersedia untuk mengelola risiko operasional secara efektif.

Lebih lagi, manajemen senior harus menilai kesesuaian proses pengawasan manajemen yang sesuai dengan risiko yang terkandung dalam kebijakan bisnis unit.  Manajemen senior harus memastikan bahwa aktivitas bank telah dilakukan oleh staff yang kompeten dengan pengalaman yang memadai, kemampuan teknis dan akses kepada sumber daya.Manajemen senior harus memastikan bahwa staff yang bertanggung jawab untuk mengelola risiko operasional berkomunikasi secara efektif dengan staff yang bertanggung jawab mengelola risiko kredit, pasar dan lainnya, juga dengan mereka yang dalam perusahaan bertanggung jawab untuk mengadakan layanan eksternal seperti pembelian asuransi dan perjanjian-perjanjian dengan outsourcing. Kealpaan melakukan hal itu akan mengakibatkan kesenjangan yang besar atau tumpang tindih dalam program manajemen risiko keseluruhan.

Manajemen senior harus memastikan bahwa kebijakan penggajian telah konsisten dengan selera risiko. Kebijakan penggajian yang justru memberi penghargaan kepada staff yang menyimpang dari kebijakan (contohnya melampaui limit yang telah ditetapkan) akan melemahkan proses manajemen risiko bank. Perhatian khusus juga harus diberikan pada kualitas kontrol dokumentasi dan praktik penanganan transaksi. Kebijakan, proses dan prosedur yang berhubungan dengan teknologi maju yang mendukung transaksi dalam jumlah yang besar, khususnya, harus didokumentasikan dan disebarluaskan kepada orang yang relevan.

Prinsip 4 : Identifikasi dan menilai risiko operasional yang terkandung di dalam semua produk, aktivitas, proses dan sistem.  Identifikasi risiko adalah kaki bukit dari pengembangan berkelanjutan monitor dan sistem kontrol risiko operasional yang bisa dilakukan. Identifikasi risiko yang efektif mempertimbangkan faktor internal (seperti struktur bank, karakteristik aktivitas bank, kualitas SDM bank, perubahan organisasi, perputaran staf) dan faktor eksternal (seperti perubahan dalam industri dan kemajuan teknologi) yang dapat mempengaruhi secara buruk pencapaian tujuan bank.  Sebagai tambahan, untuk melakukan identifikasi potensi risiko terburuk, bank harus menilai kerapuhan pada risiko-risiko ini. Penilaian risiko yang efektif membuat bank menyadari dengan lebih baik profil risikonya dan secara sangat efektif sumber daya-sumber daya tujuan manajemen risiko. Berbagai perangkat yang mungkin digunakan untuk melakukan identifikasi dan penilaian risiko operasional, antara lain:

Saat ini bank dinilai lemah di dalam menjalankan aktivitas operasionalnya sehingga memiliki potensial resiko operasional yang cukup besar. Oleh karena itu dibutuhkan Self – or Risk Assesment untuk membantu melakukan pengendalian terhadap resiko oeprasional. Proses ini digerakkan dari internal dan seringkali dalam bentuk checklist (daftar pertanyaan) dan/atau lokakarya (workshop) untuk melakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan lingkungan risiko operasional. Scorecards, sebagai contoh, menyediakan cara menerjemahkan penilaian kualitatif menjadi metric kuantitatif yang memberikan peringkat berbagai tipe eksposur risiko operasional. Nilai tertentu mungkin berhubungan dengan risiko yang hanya ada pada lini bisnis tertentu sementara lainnya mungkin memeringkat risiko yang ada pada beberapa lini bisnis. Nilai mungkin menunjukkan risiko inheren, juga kontrol-kontrol untuk mitigasinya. Sebagai tambahan, Scorecards mungkin digunakan oleh bank untuk mengalokasikan modal ekonomis (economic capital) pada berbagai lini bisnis dalam hubungan dengan kinerja dalam pengelolaan dan kontrol berbagai aspek risiko operasional.

Selain itu sebagai langkah untuk mengendalikan resiko operasional adalah dengan Operasional
Risk Mapping: dalam proses ini, berbagai unit bisnis, fungsi organisasi atau alur proses dipetakan dalam type risiko. Latihan ini dapat mengungkapkan area-area yang lemah dan menolong membuat prioritas tindakan manajemen selanjutnya.

Risk Indicators:  Adalah indikator risiko adalah statistik dan atau metrik, seringkali berhubungan dengan finansial, yang dapat menyediakan pengertian tentang posisi risiko bank. Indikator-indikator ini cenderung dikaji berkala (mungkin bulanan atau kuartalan) untuk mengingatkan bank pada perubahan indikasi yang menjadi perhatian risiko. Indikator-indikator ini mungkin termasuk jumlah kegagalan perdagangan, tingkat perputaran karyawan dan frekwensi dan/atau dampak kesalahan dan kelalaian.

http://vibizmanagement.com/journal/index/category/quality_management/117

Pendekatan dalam menghitung beban modal

Pengelolaan risiko operasional merupakan bagian integral dari manajemen risiko bank. Risiko-risiko yang disebabkan oleh dan terkait dengan aktivitas bisnis harus diidentifikasi, dinilai dan diukur serta dimitigasi dan dikendalikan oleh pengurus bank. Pengelolaan risiko-risiko tersebut ditujukan untuk meminimalkan kemungkinan kerugian dan potensi ancaman terhadap reputasi bank.
Risiko operasional berbeda sifatnya dengan risiko kredit dan risiko pasar karena kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian yang terekspos pada risiko operasional tidak selalu dapat diukur. Kerugian tersebut dapat timbul setelah tenggang waktu tertentu atau secara tidak langsung misalnya melalui kerusakan reputasi atau citra bank.
Pada tahap awal, bank wajib menerapkan Pendekatan Indikator Dasar (Basic Indicator Indicator Approach) dalam melakukan perhitungan beban modal risiko operasional. Bank yang menggunakan pendekatan ini wajib menerapkan prinsip-prinsip manajemen risiko operasional yang baik sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.

Definisi Laba Bruto (Gross Income)
Laba bruto didefinisikan sebagai pendapatan bunga bersih (pendapatan bunga dikurangi biaya bunga) ditambah pendapatan non-bunga bersih (pendapatan operasional di luar bunga dikurangi biaya di luar bunga).
Laba bruto tersebut harus:
  1. bruto terhadap provisi (misalnya untuk bunga yang tidak terbayar);
  2. bruto terhadap biaya operasional yang mencakup biaya-biaya yang dibayarkan untuk penyedia jasa outsourcing; (Berbeda dengan biaya yang dibayar untuk jasa yang di-outsourcing, pendapatan yang diterima oleh bank yang menyediakan jasa outsourcing, harus dimasukkan dalam klasifikasi laba bruto).
  3. tidak termasuk keuntungan/kerugian yang diperoleh dari penjualan surat berharga yang termasuk dalam banking book; (Keuntungan/kerugian yang dapat direalisasikan dari sekuritas yang diklasifikasikan sebagai ‘dimiliki hingga jatuh tempo dan ‘tersedia untuk dijual, yang secara karakteristik termasuk dalam banking book, juga dikecualikan dari pengertian laba bruto), dan
  4. tidak termasuk pos-pos luar biasa (extraordinary) atau irreguler, dan pendapatan yang diperoleh dari asuransi.
http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=346:perhitungan-alokasi-modal-risiko-operasional-dengan-metode-bia&catid=96:risiko-operasional&Itemid=149

Banking and risk assesment

Significant resources and sophisticated programs are used to analyze and manage risk[4]. Some companies run a credit risk department whose job is to assess the financial health of their customers, and extend credit (or not) accordingly. They may use in house programs to advise on avoiding, reducing and transferring risk. They also use third party provided intelligence. Companies like Standard & Poor's, Moody's Analytics, Fitch Ratings, and Dun and Bradstreet provide such information for a fee.
Most lenders employ their own models (credit scorecards) to rank potential and existing customers according to risk, and then apply appropriate strategies[5]. With products such as unsecured personal loans or mortgages, lenders charge a higher price for higher risk customers and vice versa[6][7]. With revolving products such as credit cards and overdrafts, risk is controlled through the setting of credit limits. Some products also require security, most commonly in the form of property.
Credit scoring models also form part of the framework used by banks or lending institutions grant credit to clients. For corporate and commercial borrowers, these models generally have qualitative and quantitative sections outlining various aspects of the risk including, but not limited to, operating experience, management expertise, asset quality, and leverage and liquidity ratios, respectively. Once this information has been fully reviewed by credit officers and credit committees, the lender provides the funds subject to the terms and conditions presented within the contract (as outlined above).
Credit risk has been shown to be particularly large and particularly damaging for very large investment projects, so-called megaprojects. This is because such projects are especially prone to end up in what has been called the "debt trap," i.e., a situation where – due to cost overruns, schedule delays, etc. – the costs of servicing debt becomes larger than the revenues available to pay interest on and bring down the debt.

Regulasi PILAR Basel PILAR 2 dan PILAR 3

Pilar 1 Persyaratan Modal Minimum (Minimum Capital Requirements) yaitu persyaratan modal minimum yang harus dipenuhi oleh bank dengan memperhitungkan risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional
Pilar 2 Proses Review Pengawas (Supervisory Review Process) yaitu proses review yang dilakukan oleh pengawas untuk memastikan bahwa modal bank dan proses perhitungan modal yang digunakan sudah memadai untuk menggambarkan profil risiko bank secara utuh;
Pilar 3 Disiplin Pasar (Market Discipline) yaitu terkait dengan disiplin pasar melalui transparansi dan pengungkapan (disclosure) yang memungkinkan para pelaku pasar untuk melakukan penilaian terhadap profil risiko dan kecukupan modal bank
Pilar 3 Basel II bertujuan untuk menciptakan transparansi kondisi keuangan bank sebagai salah satu aspek penting dalam rangka memperkuat perbankan. Sebagaimana diketahui bahwa ketiga pilar dalam Basel II saling mempengaruhi satu sama lain, dan Pilar 3 merupakan pendukung terhadap pemenuhan persyaratan modal minimum dan pelaksanaan proses review dalam rangka pengawasan (supervisory review process).
Peningkatan disiplin pasar dilakukan dengan merumuskan persyaratan dan kriteria transparansi dalam rangka meminimalisasi kesenjangan informasi untuk dapat  memberikan penilaian yang wajar dan obyektif terhadap bank-bank. Secara prinsip, pengungkapan informasi oleh bank harus konsisten dengan pendekatan yang digunakan dalam Pilar 1 dan Pilar 2 untuk mengukur berbagai risiko yang dihadapi dan dampaknya terhadap kebutuhan modal bank. Kerangka pengungkapan harus konsisten dan mudah dipahami serta dapat diperbandingkan agar pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengevaluasi informasi penting dari bank.
Bagi bank, pengungkapan informasi merupakan sarana efektif untuk menginformasikan kepada pasar mengenai eksposur risiko yang ada pada bank. Pengungkapan Pilar 3 akan menjadi sarana untuk menunjukkan keunggulan dalam mengelola risiko, hal ini dapat berdampak positif terhadap hasil kinerja bank, sehingga dapat meningkatkan daya kompetisi bank dalam industri.
Bagi pengguna informasi, pengungkapan Pilar 3 akan memberikan akses yang sama untuk menilai dan mengevaluasi kinerja dan kondisi keuangan bank serta risiko yang dihadapi. Sehingga pengguna informasi dapat melakukan perbandingan antar bank untuk menilai bank yang berkinerja baik dan yang kinerjanya kurang baik. Evaluasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan oleh pengguna informasi. Bagi pengawas, pengungkapan Pilar 3 akan menjadi sumber informasi yang bermanfaat dalam melakukan tugas-tugas pengawasan.

http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=645:disiplin-pasar-pilar-3-basel-ii&catid=69:manajemen-risiko&Itemid=102

Regulasi PILAR Basel PILAR 1

Pilar 1 – Minimum capital requirements. Dalam Pilar I bank diminta untuk menghitung kebutuhan modal risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional. Ketentuan mengenai ‘traded market risk’ tidak mengalami perubahan seperti yang tercantum pada Basel Committee’s 1996 Market Risk Amandment to the Basel I Capital Accord. Risiko bunga pada ‘banking book’ belum tercakup pada Pilar I.
Pilar 2 – Supervisory Review. Proses supervisory review dalam pilar 2 dimaksudkan untuk mengoptimalkan praktek yang telah ada. Konsep ini secara implisit sudah ada pada Basel I dimaksudkan untuk menetapkan standar minimum yang dapat disesuaikan sesuai dengan kondisi bank. Pilar 2 merupakan pendekatan supervisory review yang menyerupai pendekatan pengawasan bank berbasis risiko yang digunakan oleh Federal Reserve Board di AS dan Financial Autority Services Authority di Inggris. Fokus dari supervisory review adalah:
  • Menjamin tersedianya modal diatas yang ditetapkan dalam Pliar I.
  • Melakukan intervensi secara dini jika diperlukan untuk mengantisipasi terhadap risiko yang akan muncul, sehingga modal tidak turun dibawah yang disyaratkan.
Pilar 2 juga meliputi evaluasi risiko suku bunga jenis tertentu dalam banking book sebagaimana dokumen Basel Committee “Principles for the management and supervision of interest rate risk” yang menjelaskan cara mengelola tingkat suku bunga di dalam banking book.
Pilar 3 – Disclosure. Pilar 3 adalah pilar disiplin pasar. Basel mendefinisikan disiplin pasar sebagai mekanisme governance internal dan eksternal dalam perekonomian pasar uang tanpa adanya intervensi pemerintah secara langsung. Pilar 3 mencakup hal-hal yang akan dibutuhkan dalam hal pengungkapan publik oleh bank. Pilar 3 dirancang untuk membantu pemegang saham bank dan analis pasar dan selanjutnya akan meningkatkan transaparansi atas permasalahan seperti portofolio aktiva bank dan profil risikonya.
Basel I hanya mencakup Pilar I, namun dalam praktek, Pilar 2 dan Pilar 3 akan tetap ada pada semua negara, meskipun pendekatan yang digunakan untuk kedua Pilar tersebut dan aplikasinya mungkin sangat beragam.
Cakupan Risiko Basel II
Dalam pendekatan tiga pilar, Komite Basel mengusulkan untuk memperluas cakupan risiko di luar risiko kredit dan traded market risk sehingga mencakup lebih banyak jenis risiko yangdihadapi oleh bank.  Komite Basel memfokuskan Pilar I pada risiko kredit dan risiko operasional, sementara risiko pasar tidak mengalami perubahan seperti dalam 1996 Market Risk Amendment. Dalam Pendekatan Pilar I juga menandai untuk pertama kalinya penggunaan pendekatan kuantitatif untuk risiko operasional. Selain hal tersebut, terdapat berbagai risiko lain yang ingin dicakup dalam Pilar 2 dan Pilar 3, yang dikenal dengan ‘other risks’.

http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=737:tiga-pilar-basel-ii&catid=69:manajemen-risiko&Itemid=102

Implementasi Basel

SEKILAS IMPLEMENTASI BASEL II DI INDONESIA
:: Peningkatan Standardisasi Perhitungan Kecukupan Modal
Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Jika sebuah bank mengalami kegagalan, dampak yang ditimbulkan akan meluas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan dananya atau menginvestasikan modalnya di bank, dan akan menciptakan dampak ikutan secara domestik maupun pasar internasional.
Karena pentingnya peran bank dalam melaksanakan fungsinya maka perlu diatur secara baik dan benar. Hal ini bertujuan utnuk menjaga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan. Salah satu peraturan yang perlu dibuat untuk mengatur perbankan adalah peraturan mengenai permodalan bank yang berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian.
Mengingat pentingnya modal pada bank, pada tahun 1988 BIS mengeluarkan suatu konsep kerangka permodalan yang lebih dikenal dengan the 1988 accord (Basel I). Sistem ini dibuat sebagai penerapan kerangka pengukuran bagi risiko kredit, dengan mensyaratkan standar modal minimum adalah 8%. Komite Basel merancang Basel I sebagai standar yang sederhana, mensyaratkan bank-bank untuk memisahkan eksposurnya kedalam kelas yang lebih luas, yang menggambarkan kesamaan tipe debitur. Eksposur kepada nasabah dengan tipe yang sama (seperti eksposur kepada semua nasabah korporasi) akan memiliki persyaratan modal yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan yang potensial pada kemampuan pembayaran kredit dan risiko yang dimiliki oleh masing-masing individu nasabah.Sejalan dengan semakin berkembangnya produk-produk yang ada di dunia perbankan, BIS kembali menyempurnakan kerangka permodalan yang ada pada the 1988 accord dengan mengeluarkan konsep permodalan baru yang lebih di kenal dengan Basel II. Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord  yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional. 

http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Implementasi+Basel+II/

Kerangka regulasi perbankan oleh Bank Indonesia

BANK INDONESIA

Bank Indonesia (BI, dulu disebut De Javasche Bank) adalah bank sentral Republik Indonesia. Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. 
Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. 
BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak untuk mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya BI dipimpin oleh Dewan Gubernur. Untuk periode 2008-2013, Darmin Nasution menjabat posisi sebagai Gubernur BI menggantikan Boediono yang menjadi Wakil Presiden.

KEBIJAKAN PERBANKAN 

Arah Kebijakan Bank Indonesia
Meningkatnya kegiatan ekonomi tahun 2010 ditopang oleh ketahanan dan kinerja sektor perbankan yang positif, tercermin dari terjaganya stabilitas. Financial Stability Index yang mencapai sebesar 1,75 atau jauh lebih rendah dibandingkan pada saat krisis 2007/2008 sebesar 2,43. Fungsi intermediasi juga meningkat meski masih ada peluang untuk lebih tumbuh, risiko kredit masih terjaga (NPL dibawah 5%), permodalan yang memadai (CAR mencapai 16%).
Sebagaimana diketahui Bank Indonesia telah mengeluarkan Paket Kebijakan Desember 2010 dengan sasaran utamanya adalah untuk memperkokoh stabilitas makroekonomi dan meningkatkan intermediasi dan ketahanan perbankan, yaitu: 
Kebijakan untuk meningkatkan intermediasi perbankan yang dilakukan guna menjamin ketersediaan pasokan melalui pendalaman pasar, mendorong biaya pinjaman yang lebih efisien, melonggarkan bobot risiko untuk kredit ritel dan KMK serta upaya mengurangi asymmetric information dengan penyediaan data informasi kredit yang lebih akurat dan lengkap. Untuk lebih mendorong keluasan jangkauan dan kedalaman intermediasi, dilakukan upaya-upaya besar melalui program perluasan akses kepada lembaga keuangan (financial inclusion) dan program BPD Regional Champion.
Kebijakan untuk meningkatkan ketahanan bank yang dimaksudkan untuk lebih mendukung pertumbuhan bank, daya saing dan kemampuan dalam menyerap risiko. Untuk mencapainya akan dilakukan penguatan melalui penyempurnaan aturan terkait dengan fit and proper test, peningkatan fungsi kepatuhan bank umum, aktiva tertimbang menurut risiko, dan manajemen risiko terkait kerjasama bisnis Bancassurance.
Kebijakan untuk penguatan kelembagaan, daya saing dan ketahanan bank perkreditan rakyat dan bank syariah yang ditujukan untuk membangun kesetaraan playing field dengan bank konvensional. Upaya ini akan didukung penyempurnaan aturan yang terkait penilaian kualitas aktiva produktif, restrukturisasi pembiayaan bank dan unit syariah, batas maksimum pembiayaan dana BPR syariah, dan perubahan perizinan bank umum menjadi bank syariah. Kebijakan untuk meningkatkan efektivitas fungsi pengawasan bank yang ditujukan untuk meningkatkan fungsi detektif early warning system dan penerapan macroprudential supervision. Untuk mencapainya dilakukan penyempurnaan aturan-aturan terkait dengan sistem pengawasan bank berdasarkan risiko, penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank (exit policy) dan penilaian tingkat kesehatan bank berdasarkan risiko. 
Arah kebijakan ke depan difokuskan pada upaya untuk mentransformasikan kondisi perekonomian dan perbankan paska krisis saat ini, menuju pertumbuhan yang berkesinambungan, melalui:
Pemanfaatan pasokan devisa yang berkesinambungan untuk menutupi kebutuhan impor dan kebutuhan pembiayaan, disamping dapat digunakan untuk memperdalam pasar keuangan serta menopang stabilitas makro, utamanya nilai tukar.
Peningkatan permodalan dan kelembagaan serta daya saing perbankan nasional dengan mempercepat proses konsolidasi untuk menyongsong penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Mendorong pertumbuhan yang produktif dan meningkatkan efisiensi dengan mendorong NIM perbankan ke arah yang lebih rendah, efisien, dan kondusif bagi dunia usaha, termasuk sektor UMKM. Partisipatif dalam meningkatkan akses dan keterhubungan masyarakat dengan jasa keuangan maupun lembaga perbankan.
Pengembangan Sistem Pembayaran yang diupayakan agar lebih efisien, handal, mudah, dan aman dilakukan dengan menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur, pengembangan sistem, dan penguatan aturan hukum. Upaya pengembangan di bidang Sistem Pembayaran tersebut juga terkait dalam rangka mendorong financial inclusion.

Arah implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dilakukan dengan mendudukkan berbagai jenis bank pada posisi yang tepat, sesuai dengan alasan keberadaannya masing-masing agar satu sama lain dapat saling bersinergi dan mempertimbangkan roadmap API berdasarkan best practice perbankan.
Mempertimbangkan potensi demografis Indonesia dan relatif masih rendahnya akses keuangan masyarakat, Bank Indonesia bersama pemerintah sedang merumuskan strategi nasional keuangan inklusif. Penguatan tata kelola untuk mencegah pengambilan risiko secara berlebihan bagi eksekutif yang berpotensi memunculkan moral hazard. 

MANAJEMENT RESIKO PERBANKAN DARI SISI PANDANG BANK INDONESIA

Definisi risiko yang tepat dilihat dari sudut pandang Bank adalah, exposure terhadap ketidakpastian pendapatan. Sedangkan Philip Best menyatakan bahwa risiko adalah kerugian secara finansial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Risiko Bank adalah keterbukaan terhadap kemungkinan rugi (exposure to the change of loss). Sedangkan menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI), risiko bisnis Bank adalah risiko yang berkaitan dengan pengelolaan usaha Bank sebagai perantaraan keuangan.
Sejalan dengan perkembangan dunia usaha, risiko bisnis yang dihadapi juga berkembang secara luas, antara lain mencakup: risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional dan risiko legal.

http://theachsans.blogspot.com/2012/01/kerangka-regulasi-perbankan-oleh-bank.html

Evolusi kesepakatan Basel dan pengembangan pengawsan perbankan berdasarkan resiko

 

Sekilas Implementasi Basel II

Peningkatan Standardisasi Perhitungan Kecukupan ModalBank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yangditerima dari nasabah. Jika sebuah bank mengalami kegagalan, dampak yang ditimbulkanakan meluas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan dananya ataumenginvestasikan modalnya di bank, dan akan menciptakan dampak ikutan secara domestikmaupun pasar internasional. Karena pentingnya peran bank dalam melaksanakan fungsinyamaka perlu diatur secara baik dan benar. Hal ini bertujuan utnuk menjaga kepercayaannasabah terhadap aktivitas perbankan. Salah satu peraturan yang perlu dibuat untuk mengaturperbankan adalah peraturan mengenai permodalan bank yang berfungsi sebagai penyanggaterhadap kemungkinan terjadinya kerugian.Mengingat pentingnya modal pada bank, pada tahun 1988 BIS mengeluarkan suatu konsepkerangka permodalan yang lebih dikenal dengan the 1988 accord (Basel I). Sistem ini dibuatsebagai penerapan kerangka pengukuran bagi risiko kredit, dengan mensyaratkan standarmodal minimum adalah 8%. Komite Basel merancang Basel I sebagai standar yang sederhana,mensyaratkan bank-bank untuk memisahkan eksposurnya kedalam kelas yang lebih luas, yangmenggambarkan kesamaan tipe debitur. Eksposur kepada nasabah dengan tipe yang sama(seperti eksposur kepada semua nasabah korporasi) akan memiliki persyaratan modal yangsama, tanpa memperhatikan perbedaan yang potensial pada kemampuan pembayaran kreditdan risiko yang dimiliki oleh masing-masing individu nasabah.Sejalan dengan semakin berkembangnya produk-produk yang ada di dunia perbankan, BISkembali menyempurnakan kerangka permodalan yang ada pada the 1988 accord denganmengeluarkan konsep permodalan baru yang lebih di kenal dengan Basel II. Basel II dibuatberdasarkan struktur dasar the 1988 accord yang memberikan kerangka perhitungan modalyang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadappeningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan carapenyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga denganmemperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risikodari kerugian akibat kegagalan operasional

http://www.scribd.com/doc/59712258/ImplementasiBaselIIdiIndonesia

Proses metodologi dan alat pada manajemen resiko

Pembangunan gedung berlantai banyak dengan konstruksi utamanya  beton bertulang khususnya untuk kostruksi  balok, kolom dan plat dak beton  yang memakai adonan beton agar hasilnya lebih baik dipakailah adonan beton siap pakai (readymix concrete) yang diproduksi di batching plant pada perusahaan beton siap pakai. Pemakaian beton siap pakai dalam suatu proyek konstruksi dapat merupakan salah satu cara yang efektif karena dapat memberikan keuntungan tersendiri seperti mempercepat didalam melakukan pengecoran dalam suatu proyek konstruksi, tidak membutuhkan tempat untuk menimbun material di tempat proyek, sehingga lingkungan sekitar proyek dapat diatur lebih baik.. Namun dalam upaya ini juga terdapat faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan dari perusahaan beton siap pakai. Diantara semua faktor risiko yang berhubungan dengan kualitas, produksi, logistik, keuangan/pembayaran, dan pemasaran (Limanto, S. et al., 2002). Risiko-risiko yang dihadapi itu dapat mengganggu kelancaran bisnis yang dijalankan oleh perusahaan beton siap pakai, bahkan dapat membuat perusahaan tersebut mengalami kerugian. Besar kecilnya kerugian yang dialami tergantung dari besar kecilnya risiko yang dihadapi. Risiko yang ada pada  perusahaan pada dasarnya tidak dapat dihilangkan dan resiko juga dapat mempengaruhi produktivitas, mutu, dan biaya (Kerzner, 2004). Untuk mengelola dan memperkecil dampak dari risiko-risiko tersebut dikembangkanlah suatu strategi yang dinamakan dengan manajemen risiko. Dengan kondisi Indonesia yang seperti sekarang ini, kehadiran manajemen risiko dapat merupakan salah satu strategi penting yang dapat mengelola faktor resiko yang ada. Faktor resiko pada perusahaan adonan beton siap pakai terdiri dari  faktor teknis dan faktor manejerial mempunyai peranan dalam menunjang kelancaran pekerjaan produksi dan kualitas beton yang dihasilkan. 
2.  Landasan Teori
Risiko adalah sesuatu yang mengarah pada ketidakpastian atas terjadinya suatu peristiwa selama selang waktu tertentu yang mana peristiwa tersebut menyebabkan suatu kerugian baik itu kerugian kecil yang tidak begitu berarti maupun kerugian besar yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dari suatu perusahaan. Beberapa sifat risiko, antara lain
Langsung, risiko berupa kerusakan atau hilangnya suatu benda. Tidak langsung, dalam hal suatu pabrik yang terbakar terdapat kerugian karena usaha terganggu akibat kebakaran tersebut. Tanggung gugat, misalnya: dalam hal perusahaan beton siap pakai salah dalam melakukan mixing dan tidak sesuainya spesifikasi, maka produsen bertanggung jawab untuk akibat buruk hasil produksinya. Risiko yang ditimbulkan pihak lain, contohnya jika kontraktor tidak menyelesaikan proyek tersebut maka akan menimbulkan kerugian. Manajemen Risiko, merupakan aplikasi dari manajemen umum yang berhubungan dengan berbagai aktifitas yang dapat menimbulkan risiko. Siagian dan Sekarsari (2001)  dalam pandangannya bahwa manajemen risiko adalah luas tidak hanya terfokus pada pembelian asuransi tapi juga harus mengelola keseluruhan risiko-risiko organisasi. Definisi tentang manajemen risiko memang bermacam-macam, akan tetapi pada dasarnya manajemen risiko bersangkutan dengan cara yang digunakan oleh sebuah perusahaan untuk mencegah ataupun menanggulangi suatu risiko yang dihadapi  (Kerzner, 2004). Beton siap pakai (Readymix Concrete), adalah beton dimana pencampurannya dilakukan secara otomatis pada satu tempat dan kemudian dikirimkan kepada pemesan dalam bentuk siap pakai (Niehaus, 2005)
Proses Manajemen Risiko, terdiri dari identifikasi dan evaluasi dari setiap resiko, memilih metode dan mengimplementasikan, dan tahap pengontrolan (Dorfman, 2000).
Identifikasi dan evaluasi (terhadap frekuensi dan dampak) dari setiap risiko.
Langkah yang terutama dan yang paling penting dalam menghadapi risiko adalah dengan mengidentifikasinya. Hal ini dikarenakan identifikasi risiko mencakup perincian pemeriksaan strategi perusahaan, melalui risiko potensial mana yang bisa ditemukan dan kemungkinan disusunnya respon, sedangkan untuk mengevaluasi risiko, aspek yang harus selalu dipertimbangkan adalah frekuensi resiko dan potential severity. Frekuensi Risiko adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk mengukur probabilitas kehilangan. Metode ini tidak terlalu kompleks, dimana kita hanya perlu mengetahui obyek yang akan di estimasi dan frekuensi terjadinya kehilangan tersebut (Kezsbom, 2001). Potential Severity  disebut juga  dampak dari risiko, apabila terjadi kerugian, maka seberapa besar dampak yang akan terjadi? Beberapa risiko membuat dampak kerugian yang begitu besar, tetepi ada juga yang mempunyai dampak yang kecil.

fportfolio.petra.ac.id/.../...

Manajemen Resiko Bank

Hubungan Bank dan Risiko
· Bank adalah sebuah institusi yang memiliki surat izin bank, menerima tabungan dan deposito, memberikan pinjaman, dan menerima serta menerbitkan check.
· Risiko didefinisikan sebagai peluang terjadi bad outcome (hasil yang buruk), dan besarnya peluang dapat diestimasikan.
· Risk event (kejadian risiko) adalah terjadinya suatu peristiwa yang menciptakan potensi terjadinya kerugian (hasil buruk).
· Risk loss (risiko kerugian) adalah kerugian yang terjadi sebagai dampak langsung atau tidak langsung dari kejadian risiko. Kerugian tersebut dapat bersifat finansial atau non-finansial.

Bank Bersifat Khusus
Bank disebut bersifat “khusus” karena permasalahan di perbankan bisa mengakibatkan dampak yang serius bagi perekonomian. Bank sebagai perantara (intermediary), artinya, bank adalah sebuah lembaga untuk menyalurkan dana deposito dari nasabah kepada perusahaan-perusahaan (yang berupa suatu pinjaman). Apabila pinjaman yang diberikan bank ternyata tidak dapat dikembalikan oleh perusahaan, hal in akan menimbulkan insolvabilitas (insolvency) yang akan merusak modal pemegang saham (shareholder equity) dan dana dari nasabah. Hal itu disebabkan karena bank memiliki rasio utang terhadap modal (gearing) yang tinggi (highly geared / highly leveraged).
Tidak seperti perusahaan keuangan, maupun industri lain, regulasi bagi industri perbankan tidak hanya mencakup produk dan jasa yang ditawarkan, tetapi juga mencakup lembaga bank itu sendiri. Hal ini karena kegagalan bank akan memberikan dampak jangka panjang yang mendalam terhadap perekonomian.
Berkaitan dengan hal tersebut, otoritas pengawas perbankan (supervisor) menetapkan:
a. Struktur Modal
Struktur modal adalah cara bank untuk mendanai bisnisnya, biasanya melalui kombinasi pemberian saham, obligasi, dan penerimaan pinjaman.
b. Persyaratan Modal Minimum
Sebuah bank dikatakan memiliki modal yang cukup jika bank tersebut memiliki sumber daya finansial yang memadai untuk mengantisipasi potensi kerugianna.
c. Tingkat Likuiditas Minimum
Bank dikatakan memiliki likuiditas yang cukup jika bank tersebut memiliki sumber daya finansial yang memadai untuk mendanai aktivanya (asetnya) dan memenuhi kewajibannya saat jatuh tempo.
d. Jenis dan Struktur Pemberian Kredit

Bank, Risiko Sistematik, dan Perekonomian
Risiko sistemik adalah risiko di mana kegagalan sebuah bank tidak hanya berdampak langsung terhadap karyawan, nasabah, dan pemegang saham, tetapi bahkan dapat menghancurkan perekonomian. Hal ini lebih dikenal dengan sebutan “run on a bank” atau “bank rush”, yaitu penarikan dana besar-besaran dari bank.
“Run on a bank” terjadi ketika bank tidak mampu memenuhi kewajibannya, atau dengan kata lain bank tidak memiliki dana kas yang cukup untuk membayar kembali nasabah yang ingin menarik dananya (ada masalah solvabilitas). Solvabilitas dari suatu bank tidak hanya menjadi perhatian pemegang saham, nasabah, maupun karyawan, tetapi juga pihak-pihak yang bertanggung jawab mengatur ekonomi.
Sebelum tahun 1930-an, “run on banks” dan masalah solvabilitas relatif sering terjadi. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk mengendalikan bank melalui regulasi, dengan memastikan bahwa bank memiliki modal dan memiliki likuiditas yang mencukupi.
Bank sentral sebagai supervisor harus memastikan bahwa bank dapat:
· memenuhi sejumlah permintaan dari deposan yang ingin dananya dikembalikan, tanpa perlu mencairkan pinjamannya (menjual asetnya), dan
· mempertahankan tingkat kerugian yang masuk akal sebagai akibat dari lemahnya sistem pemberian pinjaman atas siklus ekonomi yang turun. Misalnya, dapat bertahan saat resesi.
Sebelumnya tingkat kecukupan modal dan likuiditas tidak diterapkan secara tegas, hanya dihubungkan dengan persentase dari kredit (pinjaman). Namun, ada ‘missing link’(suatu keterkaitan yang hilang dalam menghitung tingkat modal yang cukup bagi bank, yaitu besarnya risiko yang diambil bank. Semakin tinggi risiko yang diambil semakin besar potensi kerugian yang dihadapi. Dengan demikian, semakin besar modal yang harus disediakan. Bank mengambil risiko yang lebih besar, karena mengharapkan keuntungan (margin) yang lebih besar (high risk high return / reward).
Ketidakmampuan bank memenuhi kewajiban dan membayar kembali nasabah yang ingin menarik dananya dapat terjadi karena:
· Risiko kredit yang buruk
· Persepsi dari sebagian nasabahnya (bersifat tidak nyata)
· Gejolak ekonomi (economic shock), sehingga debitur macet akan meningkat secara signifikan
Bank masih akan terkena risiko perekonomian negara, walaupun sudah melakukan diversifikasi portofolio kreditnya.
Pada dasarnya, perekonomian suatu negara dipengaruhi oleh:
· External shock (guncangan eksternal), misalnya bencana alam atau peristiwa karena perbuatan manusia; dan
· Economic mismanagement (pengelolaan ekonomi yang buruk).
Memburuknya perekoniman suatu negara berdampak pada meningkatnya jumlah kredit macet. Hal ini disebabkan oleh kenaikan suku bunga, penurunan kinerja perusahaan, dan kenaikan tingkat pengangguran. Beberapa hal yang dapat dilakukan bank untk mengurangi dampak tersebut adalah:
· Mematuhi peraturan (termasuk Basel II);
· Membuat skenario atas economic shocks;
· Memiliki tingkat modal yang cukup untuk menjaga dari dampak economic shocks;
· Memperkirakan tingkat kredit macet dan memastikan bahwa tersedia modal yang mencukupi.

Modal
Modal adalah investasi dari pemegang saham bank, dan dapat diukur dari nilai yang tercatat di neraca. Modal yang mencukupi merupakan sumber daya yang penting bagi bank untuk memastikan solvency. Modal bank adalah satu-satunya sumber daya yang dapat menyerap kerugian karena tidak harus dibayar kembali.
Bank diharuskan memiliki modal yang mencukupi untuk menghadapi tingkat risiko yang diambil. Semakin tinggi risiko, semakin tinggi pula modal yang dipersyaratkan. Tingkat kecukupan modal berdasarkan tingkat risiko disebut risk-based capital. Perkembangan perbankan internaisonal pada tahun 1970-an dan 1980-an yang pesat membuat persaingan dan risiko menjadi semakin meningkat, berarti;
· Risk based capital menjadi semakin berarti
· Supervisor lebih yakin bahwa bank internasional harus memiliki cukup modal untuk menghadapi risiko (capital adequancy).
Gearing
Gearing adalah rasio dari jumlah utang (company debt) dibandingkan dengan modal (capital) yang dipunyai. Bank yang memiliki utang yang jauh lebih besar daripada modalnya, disebut “highly geared” (‘highly leveraged’).

Insolvency (Insolvabilitas)
Insolvabilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan perusahaan membayar klaim (apa pun jenisnya) yang telah jatuh tempo. Dampak krisis solvabilitas sebuah bank pada ekonomi biasanya kecil. Akan tetapi, jika krisis solvabilitas terjadi pada seluruh sektor perbankan maka seluruh perekonomian akan terkena dampaknya.

Lender of Last Resort
Bank sentral sebagai “Lender of last Resort” harus siap memberikan bantuan dana kepada bank umum untuk menjaga stabilitas sistem finansial dan untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi yang diakibatkan oleh krisis solvabilitas maupun krisis likuiditas.

Pengaruh Liberalisasi Keuangan
Liberalisasi yang terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an, merupakan alasan utama kenapa kebijakan moneter yang sukses tidak menghasilkan stabilitas keuangan.
Turunnya peran pemerintah dalam mempengaruhi perekonomian disebabkan oleh:
· dihilangkannya penghalang kompetisi antar lembaga keuangan (terjadinya persaingan bebas), termasuk liberalisasi izin pendirian bank yang menjadi bagian utama regulasi sampai tahun 1970-an;
· dihilangkannya pembatasan penetapan harga atas transaksi keuangan, seperti misalnya suku bunga maksimum atas pinjaman dan deposito;
· dihilangkannya pembatasan pergerakan modal internasional, yang mengiringi pengenalan atas pertukaran mata uang.
Liberalisasi di pasar keuangan meningkatkan situasi persaingan di perbankan, yaitu dengan cara:
· Menurunkan kemampuan bank untuk memiliki margin keuntungan yang tinggi (produk-produk harus memiliki harga yang kompetitif).
· Meningkatkan masuknya pemain baru sehingga meningkatkan kompetisi.
Kesulitan memperoleh keuntungan dalam kondisi seperti tersebut, memaksa bank untuk mengambil risiko yang leibh tinggi untuk menjaga tingkat pendapatannya.

Inovasi Produk Finansial
Liberalisasi sektor finansial melahirkan suatu periode di mana inovasi tercipta dengan cepat, terutama pertumbuhan produk keuangan seperti futures, swaps, dan options (produk derivatif) dan sekuritisasi aset. Melalui produk-produk tersebut, bank dapat melakukan transfer risiko antarsesama bank kepada investor dari pasar yang lain.

Perkembangan Internasional
Kontrol atas persiangan antarnegara juga mengalami liberalisasi sebagai akibat dari perkembangan perdagangan bebas. Namun mungkin yang lebih signifikan, itu semua sebagai akibat dari meningkatnya kekuatan perekonomian dari politik dari Uni Eropa (European Union). Liberalisasi tersebut memperkuat keterkaitan finansial antarinstitusi, antarpasar, dan antar negara.

Stabilitas Keuangan
Stabilitas keuangan adalah suatu situasi di mana kemampuan untuk memobilisasi simpanan (saving) secara efisien, menyediakan likuiditas, dan mengalokasikan investasi dari institusi keuangan dan pelaku pasar yang lain terpelihara dengan baik. Stabilitas keuangan konsisten dengan kegagalan sebuah atau beberapa institusi keuangan yang terjadi secara periodik (artinya, adanya kegagalan adalah suatu hal yang biasa terjadi, dan stabilitas keuangan tetap terjaga). Kegagalan lembaga keuangan menjadi masalah besar, jika bisa menggoncangkan dan berpotensi menghancurkan stabilitas keuangan.

Stabilitas Moneter
Stabilitas moneter adalah stabilitas atas nilai uang (yaitu, terjadinya inflasi yang rendah dan stabil). Stabilitas keuangan tidak sama dengan stabilitas moneter. Walaupun dapat terjadi bersamaan, tetapi kedua stabilitas ini tidak selalu terjadi bersamaan, misalnya:
· Pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20, inflasi rendah (stabilitas moneter), tetapi tak terjadi stabilitas keuangan.
· Pada akhir Perang Dunia I sapai 1980-an, inflasi tinggi dan tak stabil, tetapi stabilitas keuangan tetap terjaga.
· Pada tahun 1980-an sampai saat ini. Inflasi terkontrol (terjadi stabilitas moneter), tetapi tidak meningkatkan stabilitas keuangan.

PENDEKATAN BARU DALAM PEMBUATAN REGULASI

Perkembangan pasar keuangan dan liberalisasi kontrol antarnegara memaksa supervisor, terutama bank sentral, untuk memikirkan kembali bahwa meskipun nilai safety net yang disediakan oleh bank sentral memalui fungsinya sebagai “lender of last resort” tumbuh semakin besar, namun fungsinya sebagai regulator keuangan mulai melemah. Sebelum periode liberalisasi keuangan pada tahun 1970-an dan 1980-an, regulasi keuangan fokus pada:
· Pemberian wewenang, hak, dan kewajiban kepada institusi keuangan (otorisasi institusi keuangan);
· Pendefinisian secara ketat bidang usaha yang diizinkan untuk setiap jenis institusi keuangan; dan
· Definisi dari rasio finansial dan persyaratan untuk menyimpan kas dalam jumlah tertentu di bank sentral, atau memiliki aset (surat berharga) sejumlah tertentu yang diterbitkan pemerintah (surat utang negara).
Supervisor yang prudent mulai melihat pendekatan baru untuk regulasi, sebagai berikut:
1. Menjadikan risk-return menjadi ukuran dari kinerja. Jika supervisor mampu membuat peraturan yang sejalan dengan pasar maka peraturan tersebut akan lebih efektif dan lebih relevan terhadap institusi yang diatur.
2. Meningkatnya globalisasi pada pasar modal mendorong kebutuhan norma kehati-hatian yang dapat diterima secara internasional dan dapat diimplementasikan secara konsisten.
3. Regulasi hanya sebagian dari solusi. Risiko dari internasional finansial, secara internasional, sangat bergantung pada isu tentang adanya:
Standar minimum hukum atas kontrak dan kepailitan,
Standar audit dan akuntansi,
Persyaratan disclosure.

DAMPAK POTENSIAL DARI KEGAGALAN PENGELOLAAN RISIKO
Risk event akan berdampak pada bank (berupa kerugian finansial), stakholder bank tersebut (pemegang sham, karyawan, nasabah) dan perekonomian.

Dampak pada Pemegang Saham
Kegagalan dalam mengelolaa risiko selain merugikan bank juga berdampak langsung pada para pemegang saham, dalam bentuk antara antara lain:
· hilangnya seluruh investasi mereka – bangkrutnya perusahaan;
· penurunan nilai investasi – harga saham yang turun karena reputasi yang buruk atau penurunan laba,
· hilangnya dividen sebagai akibat dari penurunan laba perusahaan,
· pemegang saham bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada perusahaan.

Dampak pada Pegawai
Baik pegawai yang terlibat maupun yang tidak terlibat risk event tetap akan terkena dampaknya, seperti:
· Tindakan indisipliner karena kesengajaan atau kealpaan.
· Kehilangan pendapatan, misalnya penurunan bonus ata penundaan peningkatan upah, karena dampak pada pendapatan perusahaan.
· Kehilangan pekerjaan.

Dampak pada Nasabah
Dampak terhadap nasabah memang tidak langsung dan tidak terlihat jelas namun tetap dirasakan, seperti:
· Penuruan kualitas layanan konsumen,
· Penurunan ketersediaan produk,
· Krisis likuiditas
· Perubahan peraturan.

Risiko Operasional dan Pelayanan Nasabah
Jenis risiko yang berdampak pada nasabah sehari-hari adalah risiko operasional. Suatu operasional event akan mempengaruhi secara langsung nasabah melalui kesalahan atau kelemahan kualitas pelayanan, gangguan pelayanan, ketidakamanan yang bersifat persepsi maupun kenyataan, dan tidak adanya pelayanan yang memadai.
Gangguan layanan kepada nasabah berdampak pada reputasi bank, yang akhirnya berdampak pada profitabilitas bank tersebut, karena nasabah pindah ke bank lain. Dampak pada nasabah dapat berakibat terjadinya kerugian finansial lainnya terhadap bank, yaitu ganti rugi pembayaran kepada nasabah sebagai kompensasi, ongkos litigasi, dan denda.

Dampak Ekonomi dari Suatu Kejadian Risiko

Procyclicality
Bank yang “over lent” (terlalu banyak menyalurkan kredit) pada saat boom (ekonomi tumbuh pesat), akan “under lent” (kurang mampu menyalurkan kredit) pada saat resesi. Dampak dari resesi akan mengurangi permodalan, karena bank terpaska melakukan kredit macet. Modal yang rendah mengurangi kemampuan bank untuk memberikan pinjaman. Hal ini dapat jelas terlihat pada fenomena “asset bubles” (misalnya properti dan pasar saham di seluruh dunia). Basel II telah dikritik atas meningkatnya “procyclicality” pada penyaluran kredit bank. Basel mengaitkan credit grading models (peringkat) dengan persyaratan permodalan bank, sehingga memburuknya peringkat pada kredit akan berdampak pada peningkatan modal (regulatory capital).

Likuiditas dan Risiko Pasar
Perdagangan aset di pasar meningkat dan market risk event terus membesar, sehingga timbul masalah baru. Model matematis untuk mengidentifikasi dan memahami risiko serta pricing belumlah sempurna, belum menjadi indikator utama, dan belum dapat diandalkan untk memonitor dan mengukur risiko pasar.
Krisis likuiditas jarang terjadi pada retail banking, tetapi sering terjadi pada wholesale banks. Wholesale banks tidak menarikdana masyarakat (nasabah perseorangan) melalui tabungan dan deposito, tetapi menggantungkan pendanaannya dengan menjaminkan aset (misalnya obligasi pemerintah dan obligasi korporasi). Aset tersebut dapat menjadi tidak likuid, karena investor tidak mau membeli aset tersebut, sehingga nilai aset tersebut turun secara drastis.
Tidak likudnya aset dapat mengakibatkan krisis likuiditas (liquidity crisis) tak terhindarkan. Krisis likuditas yang terjadi pada wholesale markets dapat ditekan dampaknya dengan beberapa cara, antara lain dengan meningkatkan kewaspadaan, reaksi yang cepat dari bank sentral, dan pengawasan oleh manajemen bank.

Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX)
Regulasi ini merupakan akibat atas terjadinya skandal akuntansi seperti yang terjadi pada Enron dan WorldCom. SOX menetapkan persyaratan tentang akuntabilitas korporasi. Penerbitan regulasi baru tersebut secara tidak langsung memberikan dampak kepada nasabah bank, baik melalui biaya implementasi maupun perubahan persepsi mengenai nilai-nilai yang ada.

International Accounting Standards (IAS)
Pengenalan ketentuan baru dalam bidang akuntansi biasanya tidak dianggap[ seperti sebuah kejadian risiko. Pengenalan IAS dianggap sebagai kejadian risiko, karena akan memberikan persepsi baru terhadap tingkat profitabilitas bank pada masa mendatang. Peraturan baru tersebut dapat berdampak negatif terhadap perusahaan maka perlu dikelola secara cermat dan perlu diterangkan kepada stakeholders.
IAS yang diperkenalkan secara luas pada tahun 2005-2006 akan mempengaruhi cara bank dalam mencatat hedging atas risiko suku bunga dalam banking book (cara mencatat berdasarkan IAS berbeda dengan Basel II), dan pengungkapan (disclosure) laporan keuangan.

http://manajemenrisiko.blogspot.com/2008/03/modul-manajemen-risiko-perbankan.html

Manajemen Resiko Bank

Hubungan Bank dan Risiko
· Bank adalah sebuah institusi yang memiliki surat izin bank, menerima tabungan dan deposito, memberikan pinjaman, dan menerima serta menerbitkan check.
· Risiko didefinisikan sebagai peluang terjadi bad outcome (hasil yang buruk), dan besarnya peluang dapat diestimasikan.
· Risk event (kejadian risiko) adalah terjadinya suatu peristiwa yang menciptakan potensi terjadinya kerugian (hasil buruk).
· Risk loss (risiko kerugian) adalah kerugian yang terjadi sebagai dampak langsung atau tidak langsung dari kejadian risiko. Kerugian tersebut dapat bersifat finansial atau non-finansial.

Bank Bersifat Khusus
Bank disebut bersifat “khusus” karena permasalahan di perbankan bisa mengakibatkan dampak yang serius bagi perekonomian. Bank sebagai perantara (intermediary), artinya, bank adalah sebuah lembaga untuk menyalurkan dana deposito dari nasabah kepada perusahaan-perusahaan (yang berupa suatu pinjaman). Apabila pinjaman yang diberikan bank ternyata tidak dapat dikembalikan oleh perusahaan, hal in akan menimbulkan insolvabilitas (insolvency) yang akan merusak modal pemegang saham (shareholder equity) dan dana dari nasabah. Hal itu disebabkan karena bank memiliki rasio utang terhadap modal (gearing) yang tinggi (highly geared / highly leveraged).
Tidak seperti perusahaan keuangan, maupun industri lain, regulasi bagi industri perbankan tidak hanya mencakup produk dan jasa yang ditawarkan, tetapi juga mencakup lembaga bank itu sendiri. Hal ini karena kegagalan bank akan memberikan dampak jangka panjang yang mendalam terhadap perekonomian.
Berkaitan dengan hal tersebut, otoritas pengawas perbankan (supervisor) menetapkan:
a. Struktur Modal
Struktur modal adalah cara bank untuk mendanai bisnisnya, biasanya melalui kombinasi pemberian saham, obligasi, dan penerimaan pinjaman.
b. Persyaratan Modal Minimum
Sebuah bank dikatakan memiliki modal yang cukup jika bank tersebut memiliki sumber daya finansial yang memadai untuk mengantisipasi potensi kerugianna.
c. Tingkat Likuiditas Minimum
Bank dikatakan memiliki likuiditas yang cukup jika bank tersebut memiliki sumber daya finansial yang memadai untuk mendanai aktivanya (asetnya) dan memenuhi kewajibannya saat jatuh tempo.
d. Jenis dan Struktur Pemberian Kredit

Bank, Risiko Sistematik, dan Perekonomian
Risiko sistemik adalah risiko di mana kegagalan sebuah bank tidak hanya berdampak langsung terhadap karyawan, nasabah, dan pemegang saham, tetapi bahkan dapat menghancurkan perekonomian. Hal ini lebih dikenal dengan sebutan “run on a bank” atau “bank rush”, yaitu penarikan dana besar-besaran dari bank.
“Run on a bank” terjadi ketika bank tidak mampu memenuhi kewajibannya, atau dengan kata lain bank tidak memiliki dana kas yang cukup untuk membayar kembali nasabah yang ingin menarik dananya (ada masalah solvabilitas). Solvabilitas dari suatu bank tidak hanya menjadi perhatian pemegang saham, nasabah, maupun karyawan, tetapi juga pihak-pihak yang bertanggung jawab mengatur ekonomi.
Sebelum tahun 1930-an, “run on banks” dan masalah solvabilitas relatif sering terjadi. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk mengendalikan bank melalui regulasi, dengan memastikan bahwa bank memiliki modal dan memiliki likuiditas yang mencukupi.
Bank sentral sebagai supervisor harus memastikan bahwa bank dapat:
· memenuhi sejumlah permintaan dari deposan yang ingin dananya dikembalikan, tanpa perlu mencairkan pinjamannya (menjual asetnya), dan
· mempertahankan tingkat kerugian yang masuk akal sebagai akibat dari lemahnya sistem pemberian pinjaman atas siklus ekonomi yang turun. Misalnya, dapat bertahan saat resesi.
Sebelumnya tingkat kecukupan modal dan likuiditas tidak diterapkan secara tegas, hanya dihubungkan dengan persentase dari kredit (pinjaman). Namun, ada ‘missing link’(suatu keterkaitan yang hilang dalam menghitung tingkat modal yang cukup bagi bank, yaitu besarnya risiko yang diambil bank. Semakin tinggi risiko yang diambil semakin besar potensi kerugian yang dihadapi. Dengan demikian, semakin besar modal yang harus disediakan. Bank mengambil risiko yang lebih besar, karena mengharapkan keuntungan (margin) yang lebih besar (high risk high return / reward).
Ketidakmampuan bank memenuhi kewajiban dan membayar kembali nasabah yang ingin menarik dananya dapat terjadi karena:
· Risiko kredit yang buruk
· Persepsi dari sebagian nasabahnya (bersifat tidak nyata)
· Gejolak ekonomi (economic shock), sehingga debitur macet akan meningkat secara signifikan
Bank masih akan terkena risiko perekonomian negara, walaupun sudah melakukan diversifikasi portofolio kreditnya.
Pada dasarnya, perekonomian suatu negara dipengaruhi oleh:
· External shock (guncangan eksternal), misalnya bencana alam atau peristiwa karena perbuatan manusia; dan
· Economic mismanagement (pengelolaan ekonomi yang buruk).
Memburuknya perekoniman suatu negara berdampak pada meningkatnya jumlah kredit macet. Hal ini disebabkan oleh kenaikan suku bunga, penurunan kinerja perusahaan, dan kenaikan tingkat pengangguran. Beberapa hal yang dapat dilakukan bank untk mengurangi dampak tersebut adalah:
· Mematuhi peraturan (termasuk Basel II);
· Membuat skenario atas economic shocks;
· Memiliki tingkat modal yang cukup untuk menjaga dari dampak economic shocks;
· Memperkirakan tingkat kredit macet dan memastikan bahwa tersedia modal yang mencukupi.

Modal
Modal adalah investasi dari pemegang saham bank, dan dapat diukur dari nilai yang tercatat di neraca. Modal yang mencukupi merupakan sumber daya yang penting bagi bank untuk memastikan solvency. Modal bank adalah satu-satunya sumber daya yang dapat menyerap kerugian karena tidak harus dibayar kembali.
Bank diharuskan memiliki modal yang mencukupi untuk menghadapi tingkat risiko yang diambil. Semakin tinggi risiko, semakin tinggi pula modal yang dipersyaratkan. Tingkat kecukupan modal berdasarkan tingkat risiko disebut risk-based capital. Perkembangan perbankan internaisonal pada tahun 1970-an dan 1980-an yang pesat membuat persaingan dan risiko menjadi semakin meningkat, berarti;
· Risk based capital menjadi semakin berarti
· Supervisor lebih yakin bahwa bank internasional harus memiliki cukup modal untuk menghadapi risiko (capital adequancy).
Gearing
Gearing adalah rasio dari jumlah utang (company debt) dibandingkan dengan modal (capital) yang dipunyai. Bank yang memiliki utang yang jauh lebih besar daripada modalnya, disebut “highly geared” (‘highly leveraged’).

Insolvency (Insolvabilitas)
Insolvabilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan perusahaan membayar klaim (apa pun jenisnya) yang telah jatuh tempo. Dampak krisis solvabilitas sebuah bank pada ekonomi biasanya kecil. Akan tetapi, jika krisis solvabilitas terjadi pada seluruh sektor perbankan maka seluruh perekonomian akan terkena dampaknya.

Lender of Last Resort
Bank sentral sebagai “Lender of last Resort” harus siap memberikan bantuan dana kepada bank umum untuk menjaga stabilitas sistem finansial dan untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi yang diakibatkan oleh krisis solvabilitas maupun krisis likuiditas.

Pengaruh Liberalisasi Keuangan
Liberalisasi yang terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an, merupakan alasan utama kenapa kebijakan moneter yang sukses tidak menghasilkan stabilitas keuangan.
Turunnya peran pemerintah dalam mempengaruhi perekonomian disebabkan oleh:
· dihilangkannya penghalang kompetisi antar lembaga keuangan (terjadinya persaingan bebas), termasuk liberalisasi izin pendirian bank yang menjadi bagian utama regulasi sampai tahun 1970-an;
· dihilangkannya pembatasan penetapan harga atas transaksi keuangan, seperti misalnya suku bunga maksimum atas pinjaman dan deposito;
· dihilangkannya pembatasan pergerakan modal internasional, yang mengiringi pengenalan atas pertukaran mata uang.
Liberalisasi di pasar keuangan meningkatkan situasi persaingan di perbankan, yaitu dengan cara:
· Menurunkan kemampuan bank untuk memiliki margin keuntungan yang tinggi (produk-produk harus memiliki harga yang kompetitif).
· Meningkatkan masuknya pemain baru sehingga meningkatkan kompetisi.
Kesulitan memperoleh keuntungan dalam kondisi seperti tersebut, memaksa bank untuk mengambil risiko yang leibh tinggi untuk menjaga tingkat pendapatannya.

Inovasi Produk Finansial
Liberalisasi sektor finansial melahirkan suatu periode di mana inovasi tercipta dengan cepat, terutama pertumbuhan produk keuangan seperti futures, swaps, dan options (produk derivatif) dan sekuritisasi aset. Melalui produk-produk tersebut, bank dapat melakukan transfer risiko antarsesama bank kepada investor dari pasar yang lain.

Perkembangan Internasional
Kontrol atas persiangan antarnegara juga mengalami liberalisasi sebagai akibat dari perkembangan perdagangan bebas. Namun mungkin yang lebih signifikan, itu semua sebagai akibat dari meningkatnya kekuatan perekonomian dari politik dari Uni Eropa (European Union). Liberalisasi tersebut memperkuat keterkaitan finansial antarinstitusi, antarpasar, dan antar negara.

Stabilitas Keuangan
Stabilitas keuangan adalah suatu situasi di mana kemampuan untuk memobilisasi simpanan (saving) secara efisien, menyediakan likuiditas, dan mengalokasikan investasi dari institusi keuangan dan pelaku pasar yang lain terpelihara dengan baik. Stabilitas keuangan konsisten dengan kegagalan sebuah atau beberapa institusi keuangan yang terjadi secara periodik (artinya, adanya kegagalan adalah suatu hal yang biasa terjadi, dan stabilitas keuangan tetap terjaga). Kegagalan lembaga keuangan menjadi masalah besar, jika bisa menggoncangkan dan berpotensi menghancurkan stabilitas keuangan.

Stabilitas Moneter
Stabilitas moneter adalah stabilitas atas nilai uang (yaitu, terjadinya inflasi yang rendah dan stabil). Stabilitas keuangan tidak sama dengan stabilitas moneter. Walaupun dapat terjadi bersamaan, tetapi kedua stabilitas ini tidak selalu terjadi bersamaan, misalnya:
· Pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20, inflasi rendah (stabilitas moneter), tetapi tak terjadi stabilitas keuangan.
· Pada akhir Perang Dunia I sapai 1980-an, inflasi tinggi dan tak stabil, tetapi stabilitas keuangan tetap terjaga.
· Pada tahun 1980-an sampai saat ini. Inflasi terkontrol (terjadi stabilitas moneter), tetapi tidak meningkatkan stabilitas keuangan.

PENDEKATAN BARU DALAM PEMBUATAN REGULASI

Perkembangan pasar keuangan dan liberalisasi kontrol antarnegara memaksa supervisor, terutama bank sentral, untuk memikirkan kembali bahwa meskipun nilai safety net yang disediakan oleh bank sentral memalui fungsinya sebagai “lender of last resort” tumbuh semakin besar, namun fungsinya sebagai regulator keuangan mulai melemah. Sebelum periode liberalisasi keuangan pada tahun 1970-an dan 1980-an, regulasi keuangan fokus pada:
· Pemberian wewenang, hak, dan kewajiban kepada institusi keuangan (otorisasi institusi keuangan);
· Pendefinisian secara ketat bidang usaha yang diizinkan untuk setiap jenis institusi keuangan; dan
· Definisi dari rasio finansial dan persyaratan untuk menyimpan kas dalam jumlah tertentu di bank sentral, atau memiliki aset (surat berharga) sejumlah tertentu yang diterbitkan pemerintah (surat utang negara).
Supervisor yang prudent mulai melihat pendekatan baru untuk regulasi, sebagai berikut:
1. Menjadikan risk-return menjadi ukuran dari kinerja. Jika supervisor mampu membuat peraturan yang sejalan dengan pasar maka peraturan tersebut akan lebih efektif dan lebih relevan terhadap institusi yang diatur.
2. Meningkatnya globalisasi pada pasar modal mendorong kebutuhan norma kehati-hatian yang dapat diterima secara internasional dan dapat diimplementasikan secara konsisten.
3. Regulasi hanya sebagian dari solusi. Risiko dari internasional finansial, secara internasional, sangat bergantung pada isu tentang adanya:
Standar minimum hukum atas kontrak dan kepailitan,
Standar audit dan akuntansi,
Persyaratan disclosure.

DAMPAK POTENSIAL DARI KEGAGALAN PENGELOLAAN RISIKO
Risk event akan berdampak pada bank (berupa kerugian finansial), stakholder bank tersebut (pemegang sham, karyawan, nasabah) dan perekonomian.

Dampak pada Pemegang Saham
Kegagalan dalam mengelolaa risiko selain merugikan bank juga berdampak langsung pada para pemegang saham, dalam bentuk antara antara lain:
· hilangnya seluruh investasi mereka – bangkrutnya perusahaan;
· penurunan nilai investasi – harga saham yang turun karena reputasi yang buruk atau penurunan laba,
· hilangnya dividen sebagai akibat dari penurunan laba perusahaan,
· pemegang saham bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada perusahaan.

Dampak pada Pegawai
Baik pegawai yang terlibat maupun yang tidak terlibat risk event tetap akan terkena dampaknya, seperti:
· Tindakan indisipliner karena kesengajaan atau kealpaan.
· Kehilangan pendapatan, misalnya penurunan bonus ata penundaan peningkatan upah, karena dampak pada pendapatan perusahaan.
· Kehilangan pekerjaan.

Dampak pada Nasabah
Dampak terhadap nasabah memang tidak langsung dan tidak terlihat jelas namun tetap dirasakan, seperti:
· Penuruan kualitas layanan konsumen,
· Penurunan ketersediaan produk,
· Krisis likuiditas
· Perubahan peraturan.

Risiko Operasional dan Pelayanan Nasabah
Jenis risiko yang berdampak pada nasabah sehari-hari adalah risiko operasional. Suatu operasional event akan mempengaruhi secara langsung nasabah melalui kesalahan atau kelemahan kualitas pelayanan, gangguan pelayanan, ketidakamanan yang bersifat persepsi maupun kenyataan, dan tidak adanya pelayanan yang memadai.
Gangguan layanan kepada nasabah berdampak pada reputasi bank, yang akhirnya berdampak pada profitabilitas bank tersebut, karena nasabah pindah ke bank lain. Dampak pada nasabah dapat berakibat terjadinya kerugian finansial lainnya terhadap bank, yaitu ganti rugi pembayaran kepada nasabah sebagai kompensasi, ongkos litigasi, dan denda.

Dampak Ekonomi dari Suatu Kejadian Risiko

Procyclicality
Bank yang “over lent” (terlalu banyak menyalurkan kredit) pada saat boom (ekonomi tumbuh pesat), akan “under lent” (kurang mampu menyalurkan kredit) pada saat resesi. Dampak dari resesi akan mengurangi permodalan, karena bank terpaska melakukan kredit macet. Modal yang rendah mengurangi kemampuan bank untuk memberikan pinjaman. Hal ini dapat jelas terlihat pada fenomena “asset bubles” (misalnya properti dan pasar saham di seluruh dunia). Basel II telah dikritik atas meningkatnya “procyclicality” pada penyaluran kredit bank. Basel mengaitkan credit grading models (peringkat) dengan persyaratan permodalan bank, sehingga memburuknya peringkat pada kredit akan berdampak pada peningkatan modal (regulatory capital).

Likuiditas dan Risiko Pasar
Perdagangan aset di pasar meningkat dan market risk event terus membesar, sehingga timbul masalah baru. Model matematis untuk mengidentifikasi dan memahami risiko serta pricing belumlah sempurna, belum menjadi indikator utama, dan belum dapat diandalkan untk memonitor dan mengukur risiko pasar.
Krisis likuiditas jarang terjadi pada retail banking, tetapi sering terjadi pada wholesale banks. Wholesale banks tidak menarikdana masyarakat (nasabah perseorangan) melalui tabungan dan deposito, tetapi menggantungkan pendanaannya dengan menjaminkan aset (misalnya obligasi pemerintah dan obligasi korporasi). Aset tersebut dapat menjadi tidak likuid, karena investor tidak mau membeli aset tersebut, sehingga nilai aset tersebut turun secara drastis.
Tidak likudnya aset dapat mengakibatkan krisis likuiditas (liquidity crisis) tak terhindarkan. Krisis likuditas yang terjadi pada wholesale markets dapat ditekan dampaknya dengan beberapa cara, antara lain dengan meningkatkan kewaspadaan, reaksi yang cepat dari bank sentral, dan pengawasan oleh manajemen bank.

Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX)
Regulasi ini merupakan akibat atas terjadinya skandal akuntansi seperti yang terjadi pada Enron dan WorldCom. SOX menetapkan persyaratan tentang akuntabilitas korporasi. Penerbitan regulasi baru tersebut secara tidak langsung memberikan dampak kepada nasabah bank, baik melalui biaya implementasi maupun perubahan persepsi mengenai nilai-nilai yang ada.

International Accounting Standards (IAS)
Pengenalan ketentuan baru dalam bidang akuntansi biasanya tidak dianggap[ seperti sebuah kejadian risiko. Pengenalan IAS dianggap sebagai kejadian risiko, karena akan memberikan persepsi baru terhadap tingkat profitabilitas bank pada masa mendatang. Peraturan baru tersebut dapat berdampak negatif terhadap perusahaan maka perlu dikelola secara cermat dan perlu diterangkan kepada stakeholders.
IAS yang diperkenalkan secara luas pada tahun 2005-2006 akan mempengaruhi cara bank dalam mencatat hedging atas risiko suku bunga dalam banking book (cara mencatat berdasarkan IAS berbeda dengan Basel II), dan pengungkapan (disclosure) laporan keuangan.